Mabadiul Chamsah

"MABADIUL CHAMSAH"
Allahu Ghoyatuna
Ar-Rasul Qudwatuna
Al-Quran Dusturuna
Al-Jihad Sabiluna
Al Mautu fi sabilillah asma’ a’manina….
Allah adalah tujuan kami | Rasulullah teladan kami | Al-Qur’an pedoman hidup kami | Jihad adalah jalan juang kami | Mati di jalan Allah adalah cita2 kami tertinggi

Rabu, 02 Juni 2010

Memulai Tuk Berfikir Pluralis




                Pasca meninggalnya sang guru bangsa, KH. Abdurahman Wahid kata pluralis menjadi lebih familiar di telinga para pelajar dan kalangan awam. Definisi dari pluralis sendiri terbagi menjadi beberapa persepsi yang disikapi secara berbeda. Dari kata pluralis yang tak lain kata yang diadopsi dari bahasa asing. Saya masih ingat ketika masih duduk di bangku SMP kelas 1, ketika mempelajari bahasa Inggris ada istilah singular dan plural . Pluralis sendiri menurut bisa diartikan sebagai suatu kejamakan. Dan bisa di kembangkan menjadi pengertian yang lebih panjang. Menurut hemat saya, istilah pluralis bisa di artikan sebagai suatu kejamakan perspektif menyikapi sebuah perbedaan pandangan seseorang yang bisa menumbuhkan sikap tasamuh (toleran) kepada pelakunya. Saya tidak membahas tentang “PLURALIS” secara mendetail dan komprehensif, melainkan lebih ingin menceritakan pengalaman pribadi saya tentang pluralis itu sendiri.
                Ada baiknya jika saya menceritakan background kehidupan saya sendiri. Orang tua saya sendiri berasal dari keluarga yang notabenenya termasuk keluarga yang memegang teguh budaya-budaya ke-NU-an. Terlihat dari kakek, buyut, hingga atasnya ialah mayoritas lulusan dari pondok pesantren salaf di jawa yang berlatar belakang NU. Tidak memunafikkan jika saya sendiri selama kurang lebih 12 tahun mengikuti apa-apa yang dibudayakan keluarga.
Namun, ideologi saya mulai berubah ketika saya mulai memasuki jenjang SMP. Dimana sekolah sekaligus pondok pesantren modern yang orang tua saya pilih ternyata bukan berlatar belakang yang  sefikrah dengan mereka. Ideologi yang mereka ambil ialah ijtihad dari ulama moderat Mesir, Syeikh Imam Asy Syahid Hasan Al Banna atau lebih dikenal dengan sebutan jama’ah Ikhwanul Muslimin. Harakah ini bergerak dalam bidang tarbiyah, politik dan sosial. Tak heran jika sebagian dari para anggotanya  menjadi seorang murrabi-murrabiah beberapa halaqah tarbawiyah di berbagai tempat. Dan mungkin jika anda seorang mahasiswa tidak asing lagi dengan kelompok tarbiyah, organisasi KAMMI dan lain sebagainya. Di kancah perpolitikan pun mereka membuat partai yang biasa kita kenal sebagai Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Walau saat ini partai tersebut tidak terlalu bersifat eksklusif sebagai partai dakwah melainkan lebih terbuka dari sebelumnya (Annis Matta).
Selama 3 tahun saya mengenyam pendidikan dan belajar berbagai hal dari sana.  Dimulai dari berbagai budaya dan kebiasaan biasa mereka kerjakan. Cukup mengasyikkan memang. Tapi disana, saya tidak hanya bertemu dengan orang-orang yang berideologi Ikhwanul Muslimin semata. Saya mengenal beberapa orang yang berlatar belakang yang berbeda, dari mulai NU sendiri, Muhammadiyah dan lain sebagainya. Keberuntungan masih berpihak kepada saya, saya bertemu dan kenal dekat dengan salah satu orang yang kebetulan alumni pondok pesantren NU di Jawa, namun cara berfikir dia tidak semuanya berdasarkan apa yang dicerminkan oleh pesantren NU kebanyakan. Jika ingat beliau, saya hanya bisa mengingat jalan pikiran pemikir besar, Ulil Abshar Abdallah dan Nurcholis Madjid. Terlihat dari cara beliau berfikir yang terkesan lebih kontemporer dan lebih logis. Tak lain, jalan pikiran yang beliau pakai seperti Ulil Abhsar Abdallah, seorang tokoh NU yang terkadang pemikirannya lebih ke perubahan zaman.
Beranjak dewasa, saat usia saya  menginjak 15 tahun atau mulai memasuki jenjang SMA, Allah memberikan kesempatan untuk mengenyam pendidikan di salah satu pondok pesantren besar di Jawa Timur. Tidak dapat di pungkiri lagi, pesantren ini pasti berbeda dan bertolak belakang fikrahnya dibandingkan pesantren saya sebelumnya. Memang benar firasat saya, mayoritas bahkan hampir 99% santrinya berperspektif seperti orang tua saya (tentu anda mengerti maksud saya).
Namun, kembali keberuntungan ditangan saya. Awalnya saya hanya berprasangka, saat itu saya hanya bisa bertemu dengan aliran yang homogen. Tetapi tidak untuk saat itu. Saat itu, teman se-asrama dan kebetulan dia se-Jawa Barat mengenalkan seorang anggota Jama’ah Tabligh. Lagi-lagi, ada nama jama’ah yang masih asing ditelinga saya. Dari mereka, saya mengenal istilah kurkun (pekerja agama) dan khuruj. Ciri khas dari jama’ah ini memang dengan aktivitas khurujnya, ialah dimana kewajiban setiap penganutnya untuk keluar berdakwah 2 jam untuk 1 hari, 3 hari untuk 1 bulan, dan 1 bulan untuk 1 tahun. Biasanya jauhnya perjalanan dakwah mereka ditentukan berdasarkan maal (harta) yang mereka punya. Cukup sering saya mengikuti apa yang mereka kerjakan (untuk perhatian, saya tidak sampai terpengaruh dengan apa-apa yang mereka berikan).
Saya sempat ditentang oleh teman seasrama saya yang mungkin terlalu ta’ashub  (fanatik) dengan alirannya. Dihujat dan diperdebatkan apa-apa yang saya pahami dan apa yang saya lakukan. Anggapan dia mungkin bahwa alirannya itu yang paling benar dan yang paling ahlus sunnah. Namun saat itu, saya hanya bisa berkata seadanya, sebisanya dan sedapat yang pernah saya dapatkan. Saya mencoba menenangkan dan mencoba untuk menjelaskan hakikat ikhtilaf dari sebuah furu’ dalam agama Islam.
Sampai saat ini, berbagai aliran Islam sudah saya pernah saya ikuti dalam artian hanya mencoba merasakan berfikir dan berinteraksi dengan mereka. Bukankah hal itu tidaklah salah? Karena Mengerti bukan berarti menganut, dan menganut belum tentu memahami. Jadi apa salahnya? Sebagian orang awam masih berperspektif konservatif dan terlalu kolot dalam menyikapi sebuah perbedaan yang ada disekitar mereka. Contohnya saja jika kita berada di kampung halaman, masih banyak ditemui berbagai kefanatikan yang dianut oleh para masyarakat. Pemikiran eksklusif nan tertutup dalam menyikapi perbedaan yang ada, membuat masyarakat lebih berfikir konservatif. Ini akan lebih diperparah dengan adanya pemikiran alirannya paling benar sendiri. Ini menjadi sebuah masalah dan PR besar bagi generasi muda muslim.
Lanjuuttt nyoookk....

Selasa, 01 Juni 2010

Validasi SBI untuk sekolah dan bangsa kita?


            Akhirnya hari yang ditunggu-tunggu oleh civitas akademika SMA Darul Ulum 2 BPP-Teknologi datang juga. Tanggal 27 Mei 2010 merupakan hari giliran Validasi SBI untuk sekolah kita tercinta. Berbagai persiapan yang akan diajukan untuk tim validator telah di fixxed kan. Dari ratusan berkas yang ada di kantor kepala sekolah sampai debu-debu yang ada di dalam kelas mulai dibenahi. Semua civitas baik kepala sekolah, siswa hingga tukang kebun berusaha melakukan persiapan terbaik mereka. Sedikit cerita, hari validasi yang ditunggu itu sempat tertunda beberapa hari. Memang terasa menjadi hari spesial dikalangan kami, bahkan lebih spesial dari hari Maulid Nabi atau bahkan hari Valentine sekalipun. Masa – masa validasi yang dijalani oleh kami terkesan penuh dengan ketegangan yang mungkin amat sangat membuat geli bagi pengamat pendidikan sendiri.

            Jika kita melihat sisi baik dari program SBI yang di canangkan pemerintah untuk beberapa tahun kedepan, tidak bisa di pungkiri lagi jika program inilah yang akan menjadikan alat globalisator bagi sekolah-sekolah di nusantara. Diantaranya seperti merealisasikan bentuk KBM dengan menggunakan bahasa Internasional dan berbagai macam bentuk tektek bengek yang membiasakan para siswanya terbiasa dengan inggrisialisasi (bahasa penulis sendiri red : proses menginggriskan sesuatu).
            Tapi kita lihat juga perlu melihat dari sisi negatif  yang di timbulkan oleh program pemerintah itu. Menurut hemat penulis, sepertinya pemerintah mulai latah dengan kondisi dunia internasional. Pemerintah terlalu berkiblat pada dunia pendidikan barat yang mungkin lebih dikenal lebih maju dan lebih pantas untuk di contoh. Bolehlaah mereka berpendapat seperti itu. Tapi kita lihat juga berbagai kondisi dan realita yang terjadi di sekolah-sekolah secara langsung. Sepertinya hanya beberapa sekolah yang telah memenuhi persyaratan untuk mengikuti  program SBI pemerintah tersebut. Dengan demikian, tidak salah jika penulis menyatakan bahwa SBI masih terkesan absurd. Karena didalamnya masih terdapat ketidakproporsionalan antara kedua belah pihak, yaitu pemerintah dan sekolah-sekolah di daerah. Seperti yang penulis katakan sebelumnya, sekolah yang telah memenuhi persyaratan untuk menjadi SBI masih minim sekali. Sedangkan komoditas sekolah – sekolah untuk mengikuti program ini membludak jumlahnya. Kondisi ini menimbulkan berbagai ketimpangan dalam masalah kualitas sehingga antara kualitas  sekolah yang diharapkan pemerintah tidak bisa mengejar tingkat kuantitas yang membludak.
            Tanggung jawab moral yang harusnya diemban oleh pemerintah yaitu menjaga dan meneruskan generasi budaya secara umum tampaknya semakin hari semakin sempit dengan adanya SBI tersebut. Ini disebabkan kuatnya dependensi negara barat yang menjadi patokan para pemerintah dalam menjalankan roda pendidikannya. Dimulai dari pemberlakuan berbahasa Inggris ketika KBM berlangsung dan lain sebagainya. Terlihat dari penampangan luar, memang ini terlihat lebih mengglobalisasi yang dapat menjadikan siswa terbiasa dalam lingkungan keinggrisan. Tetapi bahasa – bahasa daerah yang mereka miliki semakin hari semakin berkurang kemampuannya. Terlebih miris lagi apabila bahasa daerah yang memiliki tingkat kesopanan yang berbeda, sebagai contoh bahasa jawa, bahasa sunda dan berbagai bahasa di belahan nusantara lainnya.  Sepertinya tidak salah jika saya mengutarakan bahwa pemerintah semakin hari semakin latah dengan tendesius barat.
Lanjuuttt nyoookk....

Facebookers

Teman

Komentarmu


ShoutMix chat widget

Anda Pengunjung ke

Link Komunitasku

gerakan indonesia bangkit PartaiKu Hizbut Tahrir

Link Blog

 

Rabithah

Ya,Allah seseungguhnya Engkau mengetahui bahwa semua hati kami ini telah bersatu berdasarkan kecintaan kepada-Mu,berjumpa di atas ketaatan kepada-Mu,berhimpun di atas dakwah-Mu,maka kuatkanlah-Ya Allah-ikatannya,kekalkanlah kasih sayang di antaranya,tunjukkan jalannya,serta penuhilah ia dengan cahaya-Mu yang tidak akan pernah padam. Lapangkanlah dadanya dengan limpahan keimanan kepada-Mu dan keindahan tawakl kepada-Mu,hidupkanlah ia dengan makrifah kepada-Mu,dan matikanlah ia sebagai syahid di jalan-Mu. Sesungguhnya Engkau sebaik-baik pemimpin dan sebaik-baik penolong. Ya Allah, kabulkanlah dan limpahkanlah salawat serta salam,ya Allah, kepada Muhammad,juga kepada segenap keluarga dan sahabatnya