Pasca meninggalnya sang guru bangsa, KH. Abdurahman Wahid kata pluralis menjadi lebih familiar di telinga para pelajar dan kalangan awam. Definisi dari pluralis sendiri terbagi menjadi beberapa persepsi yang disikapi secara berbeda. Dari kata pluralis yang tak lain kata yang diadopsi dari bahasa asing. Saya masih ingat ketika masih duduk di bangku SMP kelas 1, ketika mempelajari bahasa Inggris ada istilah singular dan plural . Pluralis sendiri menurut bisa diartikan sebagai suatu kejamakan. Dan bisa di kembangkan menjadi pengertian yang lebih panjang. Menurut hemat saya, istilah pluralis bisa di artikan sebagai suatu kejamakan perspektif menyikapi sebuah perbedaan pandangan seseorang yang bisa menumbuhkan sikap tasamuh (toleran) kepada pelakunya. Saya tidak membahas tentang “PLURALIS” secara mendetail dan komprehensif, melainkan lebih ingin menceritakan pengalaman pribadi saya tentang pluralis itu sendiri.
Ada baiknya jika saya menceritakan background kehidupan saya sendiri. Orang tua saya sendiri berasal dari keluarga yang notabenenya termasuk keluarga yang memegang teguh budaya-budaya ke-NU-an. Terlihat dari kakek, buyut, hingga atasnya ialah mayoritas lulusan dari pondok pesantren salaf di jawa yang berlatar belakang NU. Tidak memunafikkan jika saya sendiri selama kurang lebih 12 tahun mengikuti apa-apa yang dibudayakan keluarga.
Namun, ideologi saya mulai berubah ketika saya mulai memasuki jenjang SMP. Dimana sekolah sekaligus pondok pesantren modern yang orang tua saya pilih ternyata bukan berlatar belakang yang sefikrah dengan mereka. Ideologi yang mereka ambil ialah ijtihad dari ulama moderat Mesir, Syeikh Imam Asy Syahid Hasan Al Banna atau lebih dikenal dengan sebutan jama’ah Ikhwanul Muslimin. Harakah ini bergerak dalam bidang tarbiyah, politik dan sosial. Tak heran jika sebagian dari para anggotanya menjadi seorang murrabi-murrabiah beberapa halaqah tarbawiyah di berbagai tempat. Dan mungkin jika anda seorang mahasiswa tidak asing lagi dengan kelompok tarbiyah, organisasi KAMMI dan lain sebagainya. Di kancah perpolitikan pun mereka membuat partai yang biasa kita kenal sebagai Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Walau saat ini partai tersebut tidak terlalu bersifat eksklusif sebagai partai dakwah melainkan lebih terbuka dari sebelumnya (Annis Matta).
Selama 3 tahun saya mengenyam pendidikan dan belajar berbagai hal dari sana. Dimulai dari berbagai budaya dan kebiasaan biasa mereka kerjakan. Cukup mengasyikkan memang. Tapi disana, saya tidak hanya bertemu dengan orang-orang yang berideologi Ikhwanul Muslimin semata. Saya mengenal beberapa orang yang berlatar belakang yang berbeda, dari mulai NU sendiri, Muhammadiyah dan lain sebagainya. Keberuntungan masih berpihak kepada saya, saya bertemu dan kenal dekat dengan salah satu orang yang kebetulan alumni pondok pesantren NU di Jawa, namun cara berfikir dia tidak semuanya berdasarkan apa yang dicerminkan oleh pesantren NU kebanyakan. Jika ingat beliau, saya hanya bisa mengingat jalan pikiran pemikir besar, Ulil Abshar Abdallah dan Nurcholis Madjid. Terlihat dari cara beliau berfikir yang terkesan lebih kontemporer dan lebih logis. Tak lain, jalan pikiran yang beliau pakai seperti Ulil Abhsar Abdallah, seorang tokoh NU yang terkadang pemikirannya lebih ke perubahan zaman.
Beranjak dewasa, saat usia saya menginjak 15 tahun atau mulai memasuki jenjang SMA, Allah memberikan kesempatan untuk mengenyam pendidikan di salah satu pondok pesantren besar di Jawa Timur. Tidak dapat di pungkiri lagi, pesantren ini pasti berbeda dan bertolak belakang fikrahnya dibandingkan pesantren saya sebelumnya. Memang benar firasat saya, mayoritas bahkan hampir 99% santrinya berperspektif seperti orang tua saya (tentu anda mengerti maksud saya).
Namun, kembali keberuntungan ditangan saya. Awalnya saya hanya berprasangka, saat itu saya hanya bisa bertemu dengan aliran yang homogen. Tetapi tidak untuk saat itu. Saat itu, teman se-asrama dan kebetulan dia se-Jawa Barat mengenalkan seorang anggota Jama’ah Tabligh. Lagi-lagi, ada nama jama’ah yang masih asing ditelinga saya. Dari mereka, saya mengenal istilah kurkun (pekerja agama) dan khuruj. Ciri khas dari jama’ah ini memang dengan aktivitas khurujnya, ialah dimana kewajiban setiap penganutnya untuk keluar berdakwah 2 jam untuk 1 hari, 3 hari untuk 1 bulan, dan 1 bulan untuk 1 tahun. Biasanya jauhnya perjalanan dakwah mereka ditentukan berdasarkan maal (harta) yang mereka punya. Cukup sering saya mengikuti apa yang mereka kerjakan (untuk perhatian, saya tidak sampai terpengaruh dengan apa-apa yang mereka berikan).
Saya sempat ditentang oleh teman seasrama saya yang mungkin terlalu ta’ashub (fanatik) dengan alirannya. Dihujat dan diperdebatkan apa-apa yang saya pahami dan apa yang saya lakukan. Anggapan dia mungkin bahwa alirannya itu yang paling benar dan yang paling ahlus sunnah. Namun saat itu, saya hanya bisa berkata seadanya, sebisanya dan sedapat yang pernah saya dapatkan. Saya mencoba menenangkan dan mencoba untuk menjelaskan hakikat ikhtilaf dari sebuah furu’ dalam agama Islam.
Sampai saat ini, berbagai aliran Islam sudah saya pernah saya ikuti dalam artian hanya mencoba merasakan berfikir dan berinteraksi dengan mereka. Bukankah hal itu tidaklah salah? Karena Mengerti bukan berarti menganut, dan menganut belum tentu memahami. Jadi apa salahnya? Sebagian orang awam masih berperspektif konservatif dan terlalu kolot dalam menyikapi sebuah perbedaan yang ada disekitar mereka. Contohnya saja jika kita berada di kampung halaman, masih banyak ditemui berbagai kefanatikan yang dianut oleh para masyarakat. Pemikiran eksklusif nan tertutup dalam menyikapi perbedaan yang ada, membuat masyarakat lebih berfikir konservatif. Ini akan lebih diperparah dengan adanya pemikiran alirannya paling benar sendiri. Ini menjadi sebuah masalah dan PR besar bagi generasi muda muslim.
Lanjuuttt nyoookk....