Akhirnya hari yang ditunggu-tunggu oleh civitas akademika SMA Darul Ulum 2 BPP-Teknologi datang juga. Tanggal 27 Mei 2010 merupakan hari giliran Validasi SBI untuk sekolah kita tercinta. Berbagai persiapan yang akan diajukan untuk tim validator telah di fixxed kan. Dari ratusan berkas yang ada di kantor kepala sekolah sampai debu-debu yang ada di dalam kelas mulai dibenahi. Semua civitas baik kepala sekolah, siswa hingga tukang kebun berusaha melakukan persiapan terbaik mereka. Sedikit cerita, hari validasi yang ditunggu itu sempat tertunda beberapa hari. Memang terasa menjadi hari spesial dikalangan kami, bahkan lebih spesial dari hari Maulid Nabi atau bahkan hari Valentine sekalipun. Masa – masa validasi yang dijalani oleh kami terkesan penuh dengan ketegangan yang mungkin amat sangat membuat geli bagi pengamat pendidikan sendiri.
Jika kita melihat sisi baik dari program SBI yang di canangkan pemerintah untuk beberapa tahun kedepan, tidak bisa di pungkiri lagi jika program inilah yang akan menjadikan alat globalisator bagi sekolah-sekolah di nusantara. Diantaranya seperti merealisasikan bentuk KBM dengan menggunakan bahasa Internasional dan berbagai macam bentuk tektek bengek yang membiasakan para siswanya terbiasa dengan inggrisialisasi (bahasa penulis sendiri red : proses menginggriskan sesuatu).
Tapi kita lihat juga perlu melihat dari sisi negatif yang di timbulkan oleh program pemerintah itu. Menurut hemat penulis, sepertinya pemerintah mulai latah dengan kondisi dunia internasional. Pemerintah terlalu berkiblat pada dunia pendidikan barat yang mungkin lebih dikenal lebih maju dan lebih pantas untuk di contoh. Bolehlaah mereka berpendapat seperti itu. Tapi kita lihat juga berbagai kondisi dan realita yang terjadi di sekolah-sekolah secara langsung. Sepertinya hanya beberapa sekolah yang telah memenuhi persyaratan untuk mengikuti program SBI pemerintah tersebut. Dengan demikian, tidak salah jika penulis menyatakan bahwa SBI masih terkesan absurd. Karena didalamnya masih terdapat ketidakproporsionalan antara kedua belah pihak, yaitu pemerintah dan sekolah-sekolah di daerah. Seperti yang penulis katakan sebelumnya, sekolah yang telah memenuhi persyaratan untuk menjadi SBI masih minim sekali. Sedangkan komoditas sekolah – sekolah untuk mengikuti program ini membludak jumlahnya. Kondisi ini menimbulkan berbagai ketimpangan dalam masalah kualitas sehingga antara kualitas sekolah yang diharapkan pemerintah tidak bisa mengejar tingkat kuantitas yang membludak.
Tanggung jawab moral yang harusnya diemban oleh pemerintah yaitu menjaga dan meneruskan generasi budaya secara umum tampaknya semakin hari semakin sempit dengan adanya SBI tersebut. Ini disebabkan kuatnya dependensi negara barat yang menjadi patokan para pemerintah dalam menjalankan roda pendidikannya. Dimulai dari pemberlakuan berbahasa Inggris ketika KBM berlangsung dan lain sebagainya. Terlihat dari penampangan luar, memang ini terlihat lebih mengglobalisasi yang dapat menjadikan siswa terbiasa dalam lingkungan keinggrisan. Tetapi bahasa – bahasa daerah yang mereka miliki semakin hari semakin berkurang kemampuannya. Terlebih miris lagi apabila bahasa daerah yang memiliki tingkat kesopanan yang berbeda, sebagai contoh bahasa jawa, bahasa sunda dan berbagai bahasa di belahan nusantara lainnya. Sepertinya tidak salah jika saya mengutarakan bahwa pemerintah semakin hari semakin latah dengan tendesius barat.
Comments :
0 komentar to “Validasi SBI untuk sekolah dan bangsa kita?”
Posting Komentar