Mabadiul Chamsah

"MABADIUL CHAMSAH"
Allahu Ghoyatuna
Ar-Rasul Qudwatuna
Al-Quran Dusturuna
Al-Jihad Sabiluna
Al Mautu fi sabilillah asma’ a’manina….
Allah adalah tujuan kami | Rasulullah teladan kami | Al-Qur’an pedoman hidup kami | Jihad adalah jalan juang kami | Mati di jalan Allah adalah cita2 kami tertinggi

Senin, 18 Mei 2009

Jakartapun Mengiba

Kemarin tepatnya ketika hari Jum’at tanggal 15 Mei 2009, ana menyengajakan diri untuk mengembara dan bernomaden di ibukota demi mengikuti sebuah testing penerimaan siswa baru sebuah sekolah swasta di JABODETABEK.

Dari perjalanan selama 3 hari ini, banyak hal yang ana temui disana, dari berbagai aspek hampir terdapat di kota tersebut, Jakarta Metropolis. Ana mengkomper antara kota satu dengan kota lainnya, ternyata memang benar, apa yang dikatakan orang yang pernah berurban disana bahwa “JAKARTA KOTA YANG KERAS” terlihat dari bagaimana para penduduknya mencari sesuap nasi demi mempertahankan kehidupan mereka. Sebuah perbedaan yang sangat signifikan dan sangat kontras dari kota lainnya.

Banyak orang desa yang mempunyai kelebihan kemampuan berani mengambil keputusan untuk bernomaden di Jakarta. Mereka siap untuk menghadapi dunia Metro yang penuh glamour dan serba keras. Tapi tidak sedikit pulalah banyak orang desa yang berpindah ke Ibu Kota dengan segala modal nekatnya, nekat mencari kerja apa saja.

Ternyata ketika ditelusuri, kebanyakan warga Jakarta mayoritas para Urban, dan warga Jakarta asli sendiri hanya beberapa persen. Ini membuktikan bahwa pandangan orang tentang Jakarta adalah sebagai ladang rizki mereka.

Ana sering melihat disekitar jalan, banyak sekali pengemis jalanan, dari mulai anak-anak, remaja, dewasa, hatta orang jompo pun ikut dalam ekspedisi ini. Ana merasa iba dengan keadaan seperti ini. Ana bertanya pada hati kecil ana, apakah ini kehidupan yang sebenarnya dari sebuah Ibu Kota suatu Negara?

Otak kanan pun membayangkan apa yang seharusnya terjadi di sebuah ibu kota Negara?

Apakah ia mungkin ini yang seharusnya terjadi?

Ana pun flash back mencoba untuk membandingkan Jakarta dengan Singapura, dan memang sangat kontras sekali perbedaannya.

Tapi ana memaklumi semuanya, mungkin karena Indonesia masih menjadi sebuah Negara berkembang, tapi ana juga berpikir mungkin juga ini karena pemerintah Indonesia masih banyak yang merugikan Negara.

Ana tertuju pada 3 objek di kota ini yang mungkin bisa mewakili semua penderitaan rakyat miskin di Jakarta.

  1. Anak Kecil yang mengemis di Pinggir jalan dengan adiknya yang berusia sekitar 2 tahun.

Ana merasa kasihan dengan fenomena yang terjadi di ibu kota ini.

Mengapa ini bisa terjadi?

Apakah mereka tidak mempunyai orang tua sehingga mereka sendiri yang mencari nafkah?

Apakah orang tua mereka tidak mengerti akan hak-hak anak yang seharusnya mereka dapatkan?

  1. Nenek-nenek yang berjualan di pinggir jalan menuju halte busway.

Ana berfikir untuk kesekian kalinya, masih ada juga orang yang kurang mampu secara finansial di kota nan Besar ini.

Dan ana mulai menghitung dan membayangkan apa yang dijual oleh nenek tersebut tidaklah seberapa, hanya gorengan. Dilihat dari pengorbanan ia berjualan dengan rela duduk jongkok lama di bawah orang yang berlalu lalang di depannya. Kalau dihitung laba yang ia peroleh mungkin hanya sekitar 5-20 ribu, andai itu laku, jika tidak laku dalam sehari?

Hanya mendapatkan capek dan letih jongkok lama seharian.

  1. Para pengamen di Metromini atau di Bus Kota.

Mereka mayoritas para pemuda yang bernomaden ke Jakarta. Dilihat dari tampang dan kekreativitasan, mereka bisa dikata sebagai pemuda yang cukup kreatif. Mereka mempunyai jual seni tinggi. Mereka lebih memilih sebagai pengamen dibandingkan dengan menjadi seorang pencopet jalanan di Pulo Gadung dan tempat lainnya ataupun seorang pengemis. Ini menjadi sebuah ideology yang cukup perlu dicontoh oleh para pemerintah yang ada di atas sana, lebih baik mencari rizki yang halal dibandingkan rizki instant tetapi haram dalam kata lain Korupsi.

Ini sebuah realiata yang terjadi di ibukota kita sekarang ini.

Ini menjadi sebuah ketidakproporsialnya sebuah kehidupan, kita bisa membayangkan, anak kecil yang seharusnya ikut duduk bersama kita menjadi pelajar, tetapi realita yang terjadi mereka diharuskan untuk menjadi seperti ini. Nenek-nenek yang seharusnya menikmati masa tuanya dengan penuh keindahan, hanya bisa meratapi nasib yang harus ia jalani sebelum meninggalkan dunia.

Memang, Jakarta ladang rizki. Apapun bisa menjadi uang, memang terlalu komersil. Dari mulai berjualan bakso, sampai menjadi Pekerja seks pun ada disana.

Mungkin dari pernyataan dari ana tadi bisa, kita semua bisa mengambil ibroh dan hikmahnya. Kita bisa menigkatkan tenggang rasa kita kepada mereka dan bisa merubah pola pikir kita dalam menyikapi sebuah kemiskinan.

Salam Ukhuwah…
ALLAHU AKBAR!!!!!

Comments :

0 komentar to “Jakartapun Mengiba”


Posting Komentar


Posting Komentar