Mabadiul Chamsah

"MABADIUL CHAMSAH"
Allahu Ghoyatuna
Ar-Rasul Qudwatuna
Al-Quran Dusturuna
Al-Jihad Sabiluna
Al Mautu fi sabilillah asma’ a’manina….
Allah adalah tujuan kami | Rasulullah teladan kami | Al-Qur’an pedoman hidup kami | Jihad adalah jalan juang kami | Mati di jalan Allah adalah cita2 kami tertinggi

Selasa, 22 September 2009

PAN v PMB : Ujian Independensi Muhammadiyah





Orasi politik Din Syamsuddin pada Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Mentari Bangsa (PMB) di Hotel Sahid, Jakarta, Jumat, 25 Juli lalu, mendapat tanggapan dari Partai Amanat Nasional (PAN). Dalam orasinya, ketua umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah periode 2005-2010 itu memberikan dukungan kepada PMB yang akan ikut meramaikan perhelatan politik paling akbar, Pemilu 2009.

Ketika dimintai tanggapan, Wakil Sekjen DPP PAN Teguh Juwarno menjawab dengan tegas bahwa orasi Din Syamsuddin itu diharapkan tidak memengaruhi netralitas Muhammadiyah (Jawa Pos, 27 Juli 2008).

Hati politisi PMB tentu berbunga-bunga mendapatkan pasokan energi orang nomor satu Muhammadiyah itu. Sebagai parpol yang baru lahir, PMB membutuhkan pasokan energi supaya berumur panjang. Syukur kalau dalam setiap perhelatan politik, baik lokal maupun nasional, PMB diperhitungkan.

Pasokan energi itu tentu saja hanya bisa diharapkan dari Muhammadiyah. Mengapa? Menoleh sedikit ke belakang, lahirnya PMB sepertinya mengikuti kecenderungan politik di tanah air yang tidak pernah sepi dari konflik.

Pada mulanya konflik dipicu oleh kekecewaan sementara politisi. Misalnya, tidak mendapat bagian jatah kekuasaan. Kekecewaan lalu berujung pada penarikan dukungan terhadap parpol lama. Berikutnya, parpol baru didirikan.

Wiranto, misalnya, mendirikan Hanura setelah kecewa dengan Golkar. PMB mengikuti kecenderungan seperti itu. Konflik di internal PAN memang tidak setelanjang di parpol-parpol lain. Tetapi, munculnya PMB bisa dijadikan petunjuk bahwa PAN sempat menorehkan kekecewaan terhadap anak-anak muda Muhammadiyah yang kemudian membidani lahirnya PMB.

Dalam tengara kaum muda Muhammadiyah, PAN tidak lagi bisa diharapkan sebagai (satu-satunya) tenda politik warga Muhammadiyah. Lengsernya Amien Rais dari PAN menjadi salah satu faktor.

Dilihat dari sudut pandang mana pun, Amien Rais adalah ikon Muhammadiyah. Maka, ketika Amien Rais menduduki posisi penting di PAN, orang-orang Muhammadiyah dengan begitu mudah mengidentifikasikan dirinya dengan Amien plus PAN. Tanpa diminta pun orang-orang Muhammadiyah akan mendukung Amien Rais.

Faktor lain, nakhoda PAN pasca-Amien Rais, Soetrisno Bachir, bersemangat menampilkan wajah baru PAN. Salah satu jargon yang sering diusung, PAN merupakan parpol terbuka (inklusif). Mungkin karena jargon tersebut, belakangan PAN sangat akrab dengan para selebriti. Sementara inklusivitas belum terlihat secara nyata, sepertinya, PAN pelan-pelan mulai melupakan kontribusi orang-orang Muhammadiyah.

Setidaknya gejala itulah yang ditengarai anak-anak muda Muhammadiyah. Akhir cerita, PMB lahir. Seperti ingin menegaskan memori indah orang-orang Muhammadiyah, tampilan simbol PMB mirip dengan Muhammadiyah dan PAN, yakni matahari meski dengan balutan warna berbeda.

Lahirnya PMB berbuah kekhawatiran bagi PAN. Kekuatan PMB tidak boleh dipandang sebelah mata oleh PAN. Ada pendapat menarik dari Muhammad Qadari, direktur Eksekutif Indo Barometer, munculnya PMB, apalagi belakangan mendapat dukungan eksplisit dari Din Syamsuddin, berpotensi kuat menggerus pundi-pundi suara PAN pada Pemilu 2009 (Jawa Pos, 27 Juli 2008).

Bagaimana Meresponsnya?

Jika pada akhirnya PAN dan PMB bertarung memperebutkan dukungan dari Muhammadiyah, kini yang patut dipertanyakan, bagaimana warga persyarikatan memberikan respons secara arif? Apakah warga persyarikatan bisa menjaga independensi Muhammadiyah? Atau mereka hanyut dalam gelombang pragmatisme politik?

Warga persyarikatan seharusnya menjaga independensi karya dan warisan terbesar Ahmad Dahlan. Dalam waktu dekat, bersamaan dengan perhelatan muktamar di Jogjakarta pada 2010 nanti, Muhammadiyah memasuki usia satu abad. Artinya, Muhammadiyah melampaui usia Republik ini. Tentu tidak bisa dibandingkan dengan PAN dan PMB yang baru berusia seumur jagung. Dalam sejarahnya yang panjang itu, Muhammadiyah sama sekali tidak pernah dibesarkan oleh parpol mana pun.

Namun, apakah Muhammadiyah tidak boleh ditarik dalam politik? Di mana pun tidak ada organisasi yang betul-betul steril dari politik. Muhammadiyah juga tidak bisa mengisolasi diri dari politik. Hanya masalahnya, jika Muhammadiyah ingin dijadikan variabel politik, modus politik seperti apa yang akan dipilih? Apakah "politik Muhammadiyah" atau "politisasi Muhammadiyah?"

Jika yang dipilih "politik Muhammadiyah", yang lebih dikedepankan adalah politik level tinggi atau high politics seperti sering diungkapkan Amien Rais. Praksis politik dalam modus high politics lebih mengedepankan kepentingan kebaikan publik, jauh di atas kepentingan diri dan golongan.

Modus politik ini bisa menjadi kenyataan jika tunduk pada kredo moral bahwa politik harus memperhatikan kepercayaan (trust atau amanah) dan pertanggungjawaban (accountability).

Namun, jika yang dipilih "politisasi Muhammadiyah", Muhammadiyah hanya jadi objek, alat, dan justifikasi agar politisi memperoleh kekuasaan di level tertentu. Politik yang diimajinasikan Muhammadiyah bukan sekadar agar seseorang yang membawa nama Muhammadiyah meraih kekuasaan, tetapi bagaimana kekuasaan itu didedikasikan bagi kebaikan publik secara universal. Bukan kebaikan bagi kelompok primordial, juga bukan hanya kebaikan bagi warga persyarikatan.

*DR Syamsul Arifin MSi , kepala Pusat Studi Islam dan Filsafat (PSIF) Unmuh Malang; salah seorang wakil ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PWM Muhammadiyah Jawa Timur.


Tulisan ini juga dapat dilihat di : http://www.jawapos.co.id/. Senin, 28 Juli 2008.


Lanjuuttt nyoookk....

Senin, 21 September 2009

Partai Islam Sudah TAMMAT

Kepastian dukungan partai-partai Islam/basis Muslim seperti PKS, PPP, PKB, dan PAN kepada pasangan Capres  SBY-Boediono menjadi isyarat besar, pertanda matinya partai Islam di pentas politik Indonesia. Inna lillahi wa inna ilaihi ra’jiuun. Inna lillahi wa inna ilaihi ra’jiuun. Inna lillahi wa inna ilaihi ra’jiuun.
Kita patut berduka, memohon ampunan kepada Allah Ar Rahmaan, sekaligus meminta maaf kepada Ummat. Ya, inilah akhir dari perjuangan panjang partai politik Islam di pentas nasional. Tanggal 15 Mei kemarin adalah hari bersejarah bagi SBY, Demokrat, dan para pendukungnya; tetapi sekaligus hari MUSHIBAH AKBAR bagi perjuangan politik Islam di Indonesia.
Ada beberapa indikasi untuk menjelaskan MATINYA partai Islam tersebut, yaitu:
[1] Partai-partai Islam sangat tampak bahwa mereka tidak memiliki target apapun dalam perjuangan politik, selain: Mencari kekuasaan dan jabatan bagi elit-elit partainya. Semua partai Islam tidak memiliki idealisme sama sekali. Idealismenya hanyalah power, power, and power.
[2] Partai-partai Islam acuh sama sekali dengan proses Pemilu April 2009 yang akhirnya memenangkan Partai Demokrat dengan perolehan suara 20, 8 %. Tidak ada satu pun partai Islam yang mau menggugat hasil kemenangan Demokrat yang diperoleh melewati proses Pemilu yang paling buruk sepanjang sejarah. Setidaknya, mereka bisa mengatakan satu kalimat saja, “Menang pemilu memang membanggakan, tetapi cara jujur dalam pemilu, itu lebih membanggakan.”
[3] Kini Partai Demokrat dikelilingi oleh partai-partai Islam, seperti PKS, PPP, PKB, dan PAN. Memang ada partai-partai nasionalis gurem lainnya, tetapi mereka tidak ada pengaruhnya. Lihatlah dengan hati nurani yang jujur, partai-partai lain seperti Golkar, PDIP, Gerindra, dan Hanura, mereka berani bersikap tegas kepada Demokrat. Mereka memiliki harga diri dan tidak haus kuasa. Lalu siapa yang haus kuasa? “Nah, tuh lihat sendiri! Itu para ustadz, kyai, ajengan, guru ngaji, aktivis masjid, habib, pak haji, bu hajjah, dan lainnya. Mereka semua itu yang haus kuasa,” begitu kesimpulan mereka. Sungguh ini adalah tragedi politik yang memilukan.
[4] Kita tahu, PKS mewakili Muslim perkotaan, intelektual kampus. PKB mewakili Nahdhiyin, PAN mewakili Muhammadiyyah, PPP mewakili komunitas tradisionalis non NU. Mereka ini semua sekarang sedang merapat ke Demokrat, dengan pusat interestnya, SBY. Lalu apa yang nanti akan dilakukan Demokrat terhadap partai-partai itu? Apakah Demokrat akan mensolidkan mereka atau malah memecah-belahnya? Hanya Allah yang tahu. Namun akibat dari perpecahan partai-partai politik itu, nanti dampaknya akan memecah-belah kaum Muslimin di luar partai. Bukan mustahil, pengikut PKS, warga NU, Muhammadiyyah, dan lainnya akan saling bertikai untuk mendapatkan keridhaan paling mulia di sisi SBY-Boediono.
[5] Sifat tamak kuasa, pragmatisme, dan oportunis elit-elit partai Islam dengan sangat tepat digambarkan oleh Ahmad Mubarok dari DPP Partai Demokrat. Dia menyebut sikap penolakan partai-partai Islam terhadap pencalonan Boediono hanya sekedar “olah-raga politik” saja. Berikut pernyataan Mubarak, “Partai Islam butuh butuh genit sedikit untuk dekati PD. Nggak apa-apalah, itu olah raga politik, bagi atlet politik itu hal biasa saja.” (detiknews.com, Rabu 13 Mei 2009, jam 09.25 WIB). Bahkan begitu yakinnya Mubarak, bahwa partai-partai Islam tidak akan menolak Boediono, dia menyebut kepastian pencalonan itu sudah 99 %, sisa 1 % untuk Tuhan. Laa haula wa laa quwwata illa billah.
[6] Dengan semua sikap tamak kuasa dan miskin rasa malu itu, sudah pasti ia akan memecah belah barisan partai masing-masing. Nanti akan banyak eksodus politik dari partai-partai itu ke partai lain, sekalipun nasionalis. Bukan mustahil tontotan memuakkan yang mereka tunjukkan selama ini akan memperbesar angka golput dan kemarahan publik terhadap praktik politik. Khawatirnya, nanti kalau muncul partai Islam yang beneran, mereka akan mendapat gelombang cercaan akibat ulah orang-orang itu.
Dengan semua kenyataan di atas dan berbagai kenyataan lain yang tidak perlu dibahas lagi, maka bisa dipastikan bahwa nasib partai Islam di Indonesia sudah TAMMAT. Wis bubar Pakde, Budhe. Tidak perlu berharap lebih banyak. Semua partai berorientasi jabatan. Padahal Nabi Saw. pernah berkata kepada Abdurrahman bin Samurah, bahwa siapa yang mencari jabatan, memburunya, maka Allah akan menyerahkan dirinya kepada jabatan itu sendiri.
Ada kekhawatiran di hati, kalau keberadaan partai-partai “Islam” atau basis massa Islam itu, memang sengaja dimunculkan untuk menghambat aspirasi politik pro Syariat Islam. Benarkah? Bisa jadi memang demikian. Kalau melihat jauhnya partai-partai dari ajaran Islam, bahkan dalam soal “harga diri” saja, jelas tidak mungkin kita berharap mereka akan memperjuangkan Islam.
Kini saatnya, kaum Muslimin yang selama ini berada di luar Parlemen, untuk mulai menyusun kekuatan politik baru yang benar-benar membawa misi perjuangan dan pembangunan Islam. Bukan hanya cover-nya yang Islam, tetapi batinnya juga Islami. Semoga harapan itu benar-benar dimudahkan oleh Allah agar terwujud. Allahumma amin ya Rahmaan ya Rahiim.
Bandung, 16 Mei 2009.


Lanjuuttt nyoookk....

Budaya "Kharisma Politik Kyai"

Oleh ; Saripuddin


           Sampai saat ini kyai masih mempunyai peranan penting dalam kehidupan berpolitik di Indonesia. Hal ini dapat dijumpai dibeberapa tempat yang kental dengan budaya jawa dan tradisi masyarakat pesantren. Bagaimana kyai mempunyai peranan penting dalam politik ? dalam tulisan ini akan membicarakan bagaimana budaya politik kyai.
Dibeberapa tempat yang pernah saya singgahi, ada banyak kemiripan dibeberapa daerah. Walaupun kyai tidak memiliki peran langsung dalam politik namun pengaruhnya sangat kuat dalam kehidupan berpolitik, khususnya dikalangan masyarakat agamis (Islam). Kyai berperan secara tidak langsung, kita dapat melihatnya disaat kader-kader politik berusaha mendapatkan pengaruh dimasyarakat. Beragam bentuk pendekatan dilakukan politikus demi memperoleh dukungan seorang kyai.
Dalam masyarakat pedesaan budaya sungkem seorang pemimpin (kepala desa atau lurah misalnya) kepada kyai masih banyak ditemukan. Budaya ini masih ditemui dibeberapa daerah di Indonesia. Pada saat-saat menjelang pemilihan kepala desa misalnya dukungan dari kyai sangat mempengaruhi pendapatan suara. Calon yang tidak memperoleh dukungan salah satu kyai yang ada, ia akan merasa kurang pantas. Terkadang hal ini menyebabkan terjadinya calon tunggal didalam sebuah pemilihan kepala desa, kadang calon yang tidak mendapat restu dari kyai memilih mundur sebelum diadakannya pemilihan.
Sudah menjadi jargon, yang menyatakan masyarakat yang ikut apa kata kyai/ulama maka ia akan selamat. Budaya ini belum tergerus oleh perkembangan zaman walaupun pergeseran-pergeseran nilai terus terjadi setiap masa. Kharisma kyai merupakan senjata paling mujarab untuk mendapatkan pengaruh dimasyarakat, dan masyarakatpun secara sadar menerima.
Ketaatan terhadap Tuhan, cita-cita umah, komunitas politik keagamaan rupanya dijadikan insvestasi untuk mendapatkan atribut-atribut transendental dan keselamatan (salvation).1
Dalam pemilihan kepala desa atau lurah dibeberapa tempat lingkungan pesantren, mereka akan mempertanyakan “dia santrinya pak yai bukan?”. Dan biasanya calon yang berasal dari santri seorang kyai terkemuka akan banyak dipilih oleh masyarakat. Hal ini disebabkjan kepercayaan terhadap kyai masih sangat tinggi, bukan saja kharisma seorang pemimpin secara personal namun sudah mengarahkan kepada penilaian latar belakang, hubungan mereka dengan tokoh kharismatik (kyai).
Politik yang membawa nama besar seorang kyai sudah menjadi budaya yang begitu kental. Meski sudah ada batasan bahwa kyai hanya bertugas mengurus umat dan tidak mau terlibat kedalam politik praksis. Keberadaan kharismanya masih dimanfaatkan untuk kepentingan politik.
Setelah menjadi pemimipin, budaya sungkem terhadap kyai tidak pernah ditingalkan, hal ini rupanya untuk melatenkan kekuasaan. Agar dukungan dari kyai tidak lepas, berapa upayapun dilakukan. Bahkan lawan politik tidak jarang yang mempengaruhi kyai untuk mengalihkan dukungannya. Untuk melangengkan kekuasaan maka seorang pemimimpin berusaha meminta nasihat yang akan dijalankan didalam kebijakan politiknya.
Kebijakan-kebijakan kepala desa misalkan, ia akan mengutamakan bebepa program yang berkaitan dengan keagamaan. Semakin banyak dukungan terhadap kepentingan kyai maka semakin strategis mendapatkan simpati masyarakat. Hal ini pernah terjadi dan saya saksikan, Singkat cerita pada pemilihan wakil daerah pemilu tahun lalu seorang anggota fraksi dari partai PKB memberikan sedekah buat pembangunan masjid didesa kami. Sepontan kharisma dimasyarakat sangat kuat sehingga mendominasi perolehan suaradi TPS kami. Selain itu Ada beberapa kesan yang tidak bisa dilupakan begitu saja, persepsi-persepsi yang menilai kader tersebut dermawan dan dekat dengan tokoh kharismatik memungkinkan menjadi alasan kemenangan yang mutlak.
Sedekah menjelang pemilu juga telah menjadi budaya politik, walau terkesan sebagai money politic hal ini tidak dapat dikatakan sebagai suatu pelanggaran dalam hukum adat. Semakin banyak sumbangan yang diberikan untuk kepentingan agama semisal dalam pembangunan masjid dan pesantren maka hubungannya dengan kyai semakin erat. Kyai tidak pernah berkampanye secara langsung untuk mengkampanyekan salah satu kader, namun kedekatan kader politik dimata kyai menjadi isu yang dituturkan dari mulut kemulut.
Bukan budaya suap yang dimaksud dalam budaya politik ini, namun hubungan yang erat yang terjalin begtu lama sehingga jasa-jasa kader politik berupa sedekah, sumbangannya dalam mendukung kegiatan agama selalu diperhitungkan di masyarakat. Selain itu sifatnya berbentuk personal dari kekayaan pribadi, sasaran sedekah tidak dberikan kepada kyai secara personal namun bersifat kelembagaan. Meski begitu, budaya masyarakat pesantren sangat sensitif terhadap bentuk penyimpangan. Apabila terdapat penyimpangan, konsekuensinya kader plotik akan kehilangan kepercayaan, apalagi jika seorang kyai sudah mencapnya, memvonis ketidak layakan seorang kader.
Peran santri dalam menyebarkan berita disekitar pesantren kepada masyarakat memiliki peran penting. Banyak politikus menyekolahkan anaknya di pesantren demi mendapatkan simpati dan pengaruh diligkungan pesantern bersangkutan. Jauh hari sebelum terjun kedunia politik, orang mempunyai pandangan strategis dari kebijakan lokal. Menempatkan anak kedalam pesantren bertujuan untuk memperluas pengaruh. Fenomena seperti itu banyak dipraktikan dan ternyata sudah lama menjadi budaya yang tersembunyi yang masih kurang mendapat kritikan.
Budaya perkawinan berbau politis demi mendapatkan secercah (cipratan) kharisma dari kyai juga sudah tidak asing. Hubungan keluarga dengan kyai diburu untuk memperoleh kepopuleran dalam dunia politik. Budaya “bebesanan” kalau dalam istilah jawa. Fenomena ini sudah menjamur sejak lama, bisa dilihat dalam sejarah para kyai yang memiliki kharisma dimasyrakat, mereka mengawinkan putra putrinya dengan orang-orang yang memiliki pengaruh yang cukup besar. Perkawianan antar anak kyai, bertujuan menjaga garis keturunan mereka untuk tetap berketurunan ulama. Merupakan salah satu bentuk budaya pernikahan yang dibarengi unsur politis, demi melanggengkan status quo.
Kembali pada budaya politik kyai, pada dasarnya budaya politik Islam menempatkan seorang ulama (kyai) dalam posisi strategis, dalam menentukan aturan. Penguasa berperan sebagai penegak aturan untuk mempersatukan ummah. Karakteristik politik ini memang sudah merupakan bawaan semenjak awal mula kemunculan Islam. Hukum Islam yang merupakan hukum syariah adalah hukum suci yang digencarkan ulama atau pemimpin keagamaan Islam.
Identitas komunitas keagamaan dimantapkan (terutama menurut hukum suci-syariah) yang dilancarkan oleh pemimpin keagamaan, yakni kaum ulama dan diselenggarakan oleh para penguasa. Didalam kelompok ini berkembang suatu hubungan yang sangat unik didalam kalangan ulama merupakan golongan yang pasif secara politik atau patuh kepada para penguasa kendati dalam menjalankan fungsi legal agamanya para ulama ini masih tetap merupakan golongan yang otonom. (lihat J. Schacht “ Law and Justice” dalam Holt dkk.,Cambridge History of Islam)

Jadi identitas kebudayaan Islam dalam prakteknya ditegakan oleh kerangka hukum dan dibawa oleh para ulama, dan dilindungi oleh para penguasa yang bercita-cita ingin mempersatukan kembali kaum ummah. Dalam kerangka ini dalam sejarah Islam kita melihat suatu peralihan yang tetap antara kenaikan pergerakan politik keagamaan yang mengarah pada transformasi rezim politik yang menyeluruh melalui cara-cara haram seperti pembunuhan dan pemberontakan, dan dengan pendirian dunia spiritual yang kuat dengan kepasifan hukum, yang membantu tegaknya karakter despotis suatu rezim. (Eisenstadt Revolusi dan Transformasi Masyarakat)

dari kutipan diatas saya hanya ingin menggambarkanm, bahwasannya budaya politik Islam secara universal bisa dibayangkan begitu adanya. Lalu bagaimana pengaruhnya terhdap budaya politik di Indonesia? Bagi masyarakat jawa terutama yang yang akrab dalam dunia pesantren dimana kyainya masih sangat berpengaruh, hal seperti diatas masih dapat diarasakan. Artinya tidak secara mutlak kyai berpengaruh dalam pembuatan aturan-aturan, namun ada kebijakan tertentu yang merupaka legitimasi dari kebijakan kyai.
Kyai selalu diminta pendapatnya dalam pengambilan keputusan penguasa. Semisal dalam pemerintahan desa peraturan atau etika lokal sangat ketat menurut ajaran Islam. Contohnya peraturan pelarangan pendirian tempat hiburan yang dapat merusak akidah uamat, contohnya hiburan malam seperti bar, diskotik, tempat perjudian, minuman keras, tempat pelacuran dan lain-lain. Bahkan ada beberapa kearifan lokal yang masih dipertahankan yang sumbernya berasal dari kyai. Ditempat tertentu penguasa bukanlah satu-satunya orang yang mutlak yang dapat mengesahkan sesuatu. Contohnya pada saat seorang warga berniat mengadakan pesta dengan hiburan pentas dangdut atau layar tancap (sejenis hiburan bioskop). Maka kyailah yang mempertimbangkan acara tersebut diizinkan atau tidak, posisi penguasa atau lurah biasanya hanya formalitas.
Apa yang dilakukan penguasa dalam upaya mempertahankan status quonya memiliki teori yang sangat relefan dengan fenomena diatas. Usaha untuk melatenkan kekuasaan terdapat dalam salah satu teori yang dikemukakan Talcott Parsons. Talcott Parsons menyebutkan perluya pemeliharaan pola atau latency, yang artinya sistem harus mampu melengkapi, memelihara, dan memperbaiki, baik motivasi individual maupun pola cultural yang menciptakan dan mendorong motivasi.2
Hal tersebut telah banyak dilakukan para kyai dalam mempertahankan stastus quo, dan tak heran teori tersebut sejalan dengan apa yang dijalankan didalam budaya kyai.
Dari beberapa fenomena politik yang dibahas dalam tulisan ini memang penulis sengaja mencoba memaparkan secara fenomenalogis garis-garis terdepan yang dapat ditemukannya ruh sosiologi politik. Masih banyak lagi budaya politik dalam masyrakat pesantren diantaranya adalah budaya dakwah, poligami, dan pengajian. Mengapa ketiga hal itu saya definisikan kedalam budaya politik. Tentu ada alasan, dimana ditempat tertentu ketiga hal tersebut menjadi alat bagi kyai untuk memperluas pengaruh. Salah satunya budaya poligami dikalangan kyai, kemugkinan ada unsur politik mempoligami beberapa anak kyai lain agar terjalin kekeluargaan dimana-mana, dan otomatis pengaruhnya semakin luas.
Kadang pengajian dan dakwah dijadikan senjata politis kyai untuk mempengaruhi masyartakat. Kasus yang pernah terjadi ketika seorang kyai mempengaruhi masyarakat untuk melakukan perlawanan terhadap rezim otoriter Soeharto dari adanya kasus Tanjung Priuk. Dakwahnya memiliki sepirit hinnga membakar masyarakat untuk melengserkan Soeharto atas pelanggaran HAM yang terjadi di Tanjung Priuk.



DAFTAR PUSTAKA

Eisenstadt S.N. 1986 Revolusi dan Transformasi Masyarakat Jakarta : CV. Rajawali
Ritzer, George. 2004 Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda Jakarta : Rajawali Pers
1 S.N. Eisenstadt Revolusi dan Transformasi Masyarakat (Jakarta : CV. Rajawali, 1986), hlm. 70
2 George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda” (Jakarta : Rajawali Pers, 2004)
Lanjuuttt nyoookk....

Memahami Pemikiran Max Weber

Oleh: Saripuddin *


          Diawali oleh esai etika protestan dan semangat kapitalisme, Weber menyebutkan agama adalah salah satu alasan utama perbedaan antara budaya barat dan timur. Ia mengaitkan efek pemikiran agama dalam kegiatan ekonomi, hubungan antara stratifikasi sosial dan pemikiran agama serta pembedaan karakteristik budaya barat. Tujuannya untuk menemukan alasan mengapa budaya barat dan timur berkembang dengan jalur yang berbeda. Weber kemudian menjelaskan temuanya terhadap dampak pemikiran agama puritan (protestan) memiliki pengaruh besar dalam perkembangan sistem ekonomi di Eropa dan Amerika Serikat, namun tentu saja ini ditopang dengan faktor lain diantaranya adalah rasionalitas terhadap upaya ilmiah, menggabungkan pengamatan dengan matematika, ilmu tentang pembelajaran dan yurisprudensi, sistematisasi terhadap administrasi pemerintahan dan usaha ekonomi. Studi agama menurut Weber semata hanyalah meneliti satu emansipasi dari pengaruh magi, yaitu pembebasan dari pesona. Hal ini menjadi sebuah kesimpulan yang dianggapnya sebagai aspek pembeda yang sangat penting dari budaya yang ada di barat.
Max Weber dengan baik mengaitkan antara Etika Protestan dan Semangat Kapitalis (Die Protestan Ethik Under Giest Des Kapitalis). Tesisnya tentang etika protestan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi kapitalis. Ini sangat kontras dengan anggapan bahwa agama tidak dapat menggerakkan semangat kapitalisme. Studi Weber tentang bagaimana kaitan antara doktrin-doktrin agama yang bersifat puritan dengan fakta-fakta sosial terutama dalam perkembangan industri modern telah melahirkan corak dan ragam nilai, dimana nilai itu menjadi tolak ukur bagi perilaku individu.
Karya Weber tentang The Protestan Ethic and Spirit of Capitalism menunjukkan dengan baik keterkaitan doktrin agama dengan semangat kapitalisme. Etika protestan tumbuh subur di Eropa yang dikembangkan seorang yang bernama Calvin, saat itu muncul ajaran yang menyatakan seorang pada intinya sudah ditakdirkan untuk masuk surga atau neraka, untuk mengetahui apakah ia masuk surga atau neraka dapat diukur melalui keberhasilan kerjanya di dunia. Jika seseorang berhasil dalam kerjanya (sukses) maka hampir dapat dipastikan bahwa ia ditakdirkan menjadi penghuni surga, namun jika sebaliknya kalau di dunia ini selalu mengalami kegagalan maka dapat diperkirakan seorang itu ditakdirkan untuk masuk neraka.
Doktrin Protestan yang kemudian melahirkan karya Weber tersebut telah membawa implikasi serius bagi tumbuhnya suatu etos baru dalam komunitas Protestan, etos itu berkaitan langsung dengan semangat untuk bekerja keras guna merebut kehidupan dunia dengan sukses. Ukuran sukses dunia – juga merupakan ukuran bagi sukses di akhirat. Sehingga hal ini mendorong suatu semangat kerja yang tinggi di kalangan pengikut Calvinis. Ukuran sukses dan ukuran gagal bagi individu akan dilihat dengan ukuran yang tampak nyata dalam aktivitas sosial ekonominya. Kegagalan dalam memperoleh kehidupan dunia – akan menjadi ancaman bagi kehidupan akhirat, artinya sukses hidup didunia akan membawa pada masa depan yang baik di akhirat dengan “jaminan” masuk surga, sebaliknya kegagalan yang tentu berhimpitan dengan kemiskinan dan keterbelakangan akan menjadi “jaminan” pula bagi individu itu masuk neraka.
Upaya untuk merebut kehidupan yang indah di dunia dengan “mengumpulkan” harta benda yang banyak (kekayaan) material, tidak hanya menjamin kebahagiaan dunia, tetapi juga sebagai media dalam mengatasi kecemasan. Etika Protestan dimaknai oleh Weber dengan kerja yang luwes, bersemangat, sungguh-sungguh, dan rela melepas imbalan materialnya. Dalam perkembangannya etika Protestan menjadi faktor utama bagi munculnya kapitalisme di Eropa dan ajaran Calvinisme ini menebar ke Amerika Serikat dan berpengaruh sangat kuat disana.
Weber mendefinisikan semangat kapitalisme sebagai bentuk kebiasaan yang sangat mendukung pengejaran rasionalitas terhadap keuntungan ekonomi. Semangat seperti itu telah menjadi kodrat manusia-manusia rasional, artinya pengejaran bagi kepentingan-kepentingan pribadi diutamakan daripada memikirkan kepentingan dan kebutuhan kolektif seperti yang dikehendaki oleh Kar Marx. Islam pun sebenarnya berbicara tentang kaitan antara makna-makna doktrin dengan orientasi hidup yang bersifat rasional. Dalam salah satu ayat disebutkan bahwa setelah menyelesaikan ibadah shalat, diperintahkan untuk bertebaran di muka bumi ini dalam rangka mencari karunia Allah SWT. Namun dalam Islam ada mekanisme penyeimbangan yang digunakan untuk membatasi kepemilikan pribadi dengan kewajiban membayar zakat, infaq dan shadaqah.
Menurut Max Weber bahwa suatu cara hidup yang teradaptasi dengan baik memiliki ciri-ciri khusus kapitalisme yang dapat mendominasi yang lainnya merupakan kenyataan yang real ketika masa-masa awal revolusi industri, ketika Weber hidup, kenyataan-kenyataan itu mejadi sesuatu yang benar-benar nyata dipraktekkan oleh manusia. Hidup harus dimulai di suatu tempat dan bukan dari individu yang terisolasi semata melainkan sebagai suatu cara hidup lazim bagi keseluruhan kelompok manusia.
Kita perlu mengkritik mengenai teorinya Weber tentang etika protestan dan semangat kapitalis ini. Dalam penelusuran sejarah, ternyata setelah Weber mempublikasikan tulisannya mengenai etika protestan justru keadaan ekonomi masyarakat protestan semakin menurun dan disisi lain mayoritas katolik justru sedang bangkit. Ini adalah bola api yang bisa berbalik membakar teorinya Weber sendiri, karna etika protestan dan semangat kapitalis yang menjadi teorinya tidak dapat dijadikan ramalan masa depan.
Selain membicarakan tentang kaitan antara Protestan dan Kapitalisme, Weber juga membicarakan tentang agama Tiongkok yakni Konfusionisme dan Taoisme, perhatian Weber pada agama ini tampaknya menunjukkan besarnya perhatian Weber atas kenyataan-kenyataan sosial dalam kehidupan manusia. Dalam tulisan-tulisannya yang lain, Weber juga sempat membicarakan masalah-masalah Islam. Hadirnya tulisan tentang Konfusionisme dan Taoisme dalam karya Weber ini dapat dipandang sebagai perbandingan antara makna agama di Barat dan di Timur. Ia banyak menganalisa tentang masyarakat agama, tentu saja dengan analisa yang rasional dan handal serta sama sekali tidak ada maksud untuk mendiskriminasikan agama tertentu. Agama Tiongkok; Konfusianisme dan Taonisme merupakan karya terbesar kedua dari Weber dalam sosiologi tentang agama.

Weber memusatkan perhatiannya pada unsur-unsur dari masyarakat Tiongkok yang mempunyai perbedaan jauh dengan budaya yang ada di bagian barat bumi (Eropa) yang dikontraskan dengan Puritanisme. Weber berusaha mencari jawaban “mengapa kapitalisme tidak berkembang di Tiongkok?” dalam rangka memperoleh jawaban atas pertanyaan sederhana diatas, Webar melakukan studi pustaka atas eksistensi masyarakat tiongkok. Bagaiman eksistensi itu dipahami Weber dalam rangka menuntaskan apa yang menjadi kegelisahan empiriknya, maka yang dilakukana adalah memahami sejarah kehidupannya,
Dalam berbagai dokumen yang diteliti oleh Weber, bahwa masyarakat Tiongkok memiliki akar yang kuat dengan kehidupan nenek-moyang mereka sejak tahun 200 SM,
Tiongkok pada saat itu merupakan tempat tinggal para pemimpin kekaisaran yang membentuk benteng-benteng di kota-kota Tiongkok, disitu juga merupakan pusat perdagangan, namun sayangnya mereka tidak mendapatkan otonomi politik, ditambah warganya yang tidak mempunyai hak-hak khusus, hal ini disebabkan oleh kekuatan jalinan-jalinan kekerabatan yang muncul akibat keyakinan keagamaan terhadap roh-roh leluhur. Hal lainnya adalah gilda-gilda yang bersaing merebutkan perkenan kaisar. Sebagai imbasnya warga kota-kota Tiongkok tidak pernah menjadi suatu kelas setatus terpisah. Namun jika kita cermati dinegara beragamakan Taoisme dan Konfucuisme kini mampu berkembang dan banyak kapitalis dimana-mana mungkin hal itu sudah tidak relevan lagi dengan fakta sosial saat ini.
Pada bagian awal buku ini weber menuliskan tentang politik dan kekuasaan, ada berbagai hal yang menarik untuk diulas bagi banyak teoritik sosial. Tentang Negara Weber mendifinisikan negara sebagai sebuah lembaga yang memiliki monopoli dalam penggunaan kekuatan fisik secara sah, definisi ini menjadi sangat berharga karna sumbangsihnya dalam studi tentang ilmu politik barat modern. Pada bagian satu buku ini diterangkan tentang adanya tiga justifikasi batiniah yang menjadi legitimasi dasar bagi dominasi. Legitimasi dasar bagi dominasi ini yang pertama ialah otoritas atas masa lalu abadi atau sering disebut sebagai dominasi tradisional, karma disini ada otoritas atas adat istiadat yang dikeramatkan. Otoritas seperti ini dipakai patriach dan penguasa patrimonial dimasa lalu, salah satunya adalah adat yang mengangkat seorang pemimpin atas dasar darah keturunan atau dari suku tertentu. Yang kedua merupakan otoritas kharismatik diantaranya; ketaatan personal absolut dan keyakinan personal pada wahyu, heroisme, atau bisa juga kualitas lain yang istimewa dari kepemimpinan individual. Sebagai contohnya seperti yang diperaktikan seorang Nabi, pangliama perang terpilih, atau pemimpin-pemimpin politik yang memang mempunyai sebuah kharisma. Yang ketiga merupakan dominasi karma legalitas, dominasi ini didasari oleh sebuah hukum yang memang sudah terbentuk. Legalitas ini timbul karena keyakinan pada keabsahan statula legal dan komnpetensi fungsional yang beralas pranata yang dibuat secara rasional. Contohnya pemimpin yang dipilih secara demokratis melalui pemilu yang berdasarkan undang-undang yang berlaku seperti halnya Negara kita dan Negara-negara lain yang demokratis.
Ada yang perlu dikritik dalam karya Weber mengenai perkembangan rasionalisasi hukum, menurutnya perkembangan hukum diawali pewahyuan ala kharismatik, tahapan ini merupakan penciptaan hukum dari ketiadaan hukum sama sekali. Tahapan ini ditandai dengan mode bersifat kharimatik. Tahapan yang kedua menurut Weber adalah penciptaan hukum secara empiris, pengadaan hukum empiris ini tercipta melalui proses teknis yang merupakann kreatifitas manusia itu sendiri, tahapan kedua ini ditandai dengan metodenya yang bersifat empirical. Selanjutnya adalah tahapan imposition atau pembebanan hukum oleh kekuatan-kekuatan sekuler, dan yang terakhir merupakan tahapan profesional, artinya hukum yang dibuat oleh orang-orang yang benar-benar mempunyai kemampuan didalamnya karna mereka mendapatkan pendidikian formal dengan metode ilmiah dan logis formal. Kesimpulanya Weber melihat masyarakat selalu akan berkembang dari kharismatik tradisional menuju tahapan-tahapan yang sudah ditentukan diatas. Tapi jika kita melihat berbagai perkembangan hukum, proses itu tak berjalan linier menaiki tangga secara berurutan, justru perubahannya bisa saja terjadi secara gradual atau acak. Hal ini bisa ditemukan pada kondisi masyarakat yang mengalami revolusi. Ditengah-tengah dunia modern kita masih menemukan fakta banyaknya masyarakat tradisional yang begitu kesulitan dalam menyesuaikan hukum yang mengikatnya oleh hukum formal yang diciptakan negara, ini mengakibatkan kementalan antara kualitas hukum dan kualitas masyarakat, alasannya adanya masyarakat yang tak bisa mencerna hukum sehingga terjadi pemboikotan secara tidak langsung.
Ada kasus yang lebih menarik dikaitkan dengan perkembangan hukum manusia saat ini, contoh beberapa negara yang menggunakan syariat Islam, tentu saja bisa merupakan penolakan mentah-mentah atas teorinya Weber. Apa yang disebut sebagai hukum tuhan yang berpedoman pada wahyu dari teks-teks suatu kitab suci masih berlaku sepanjang zaman yang dijadikan hukum manusia saat ini. Tentu tidak serta merta dapat dikatakan ketinggalan, karna berada pada tahap satu dari perkembangan manusia yang diungkapkan Weber sebelunya, justru kharismatik tradisional mapu melampaui hukum manusia profesiaonal sekalipun.
Buku ini bisa di ibaratkan pohon yang memiliki beberapa tandan buah, beberapa tandan dari buku yang berkafer biru ini diantaranya mengulas tentang agama, kekuasaan, ilmu pengetahuan dan politik. Pada bagian yang kedua dalam buku ini merupakan esai tentang kekuasaan, didalamnya ada banyak sekali pembahasan diantaranya mengenai struktur kekuasaan, mengenai kelas social, status dan partai, juga birokrasi.
Weber selain dari salah satu pendiri ilmu sosiologi juga merupakan pendiri administrasi Negara modern, dalam karyanya weber banyak menulis tentang ekonomi dan pemerintahan. Kaitannya dengan birokrasi weber mengutarakan banyak hal termasuk didalamnya tentang karakteristik sebuah birokrasi. Ada beberapa karakteristik sebuah birokrasi yang merupakan kepiawaian modern yang berfungsi secara spesifik diantaranya : adanya prinsip area yurisdiksional yang sudah ditetapkan dan resmi, adanya prinsip-prinsip hirarki jabatan dan tingkat-tingkat kewenangan, manajemen yang yang didasarkan pada dokumen-dokumen tertulis juga adanya menejemen yang benar-benar terspesialisai. Pada bagian yang tak kalah pentingnya, Weber mengulas bagaimana pemangkuan jabatan itu merupakan sebuah panggilan. Hingga pada sebuah kesimpulan Weber melihat birokrasi sebagai contoh klasik rasionalisasi.
Cukup banyak yang bisa ditemukan dari ide-ide cemerlang Max Weber mengenai birokrasi, sehingga saya pikir ini adalah PR bagi pembaca untuk dapat menghatamkan tulisan dalam buku yang penuh makna ini. Bagian ini memang merupakan acuan mengapa Weber dikatakan sebagai salah satu pendiri adanya administrasi modern.
Buku ini merupakan jendela melihat masa lalu untuk memahami kerangka teoritik Weber. Ia tak kalahnya dengan hantu tua Karl Marx bahkan ia menjadi salah seorang yang membalikan perspektif teoritik Marx. Diantaranya ketika Weber mengatakan pada suatu kesimpulan bahwa faktor material bukanlah satu-satunya faktor yang dapat mempengaruhi gagasan, namun sebaliknya gagasan itu sendiri mempengaruhi struktur material. Weber juga mencoba melengkapi kekurangan dari marx terbukti didalam karyanya mengenai stratifikasi dimana stratifikasi sosial diperluas hingga mencakup stratifikasi berdasarkan prestis, status atau kekuasaan. Pada dasarnya karya Weber lebih menekankan tentang proses rasionalisasi yang selalu mendasari semua teoritiknya.
Isi buku yang diterbitkan oleh pustaka pelajar ini mempunayai bobot nutrisi kaya teori, namun tingkat kesulitan dalam memahami bagaimana inti permasalahannya menjadi kendala utama dalam menguasai teori dalam buku ini. Masalah seperti ini memang sering kita temui ketika membaca karya-kaya terjemahan asing. Banyak para tokoh yang menjelaskan teori weber ini dalam bahasa yang sangat sderhana sehingga mudah untuk dipahami, Weber merupakan penulis yang paling buruk dibandingkan dengan tokoh sosiologi lain dalam menjelaskan ide gagasannya, makanya banyak kalangan begitu kesulitan menangkap pemikiran Weber sehingga lebih memilih buku yang sudah dianalisa oleh tokoh lain sesudah Weber. Namun dibalik itu semua Weber mempunyai ide yang cemerlang, ia mempunyai pemikiran yang hebat yang bisa ditemukan dalam buku ini. Kerumitan dalam memahami buku sosiologi Max Weber ini dapat diatasi dengan kesungguhan mempelajarinya.
Buku ini seperti sebuah sumur yang dalam, dengan air sebagai gambaran dari teorinya yang tak pernah kering sepanjang masa. Gagasan Max Weber seakan tak pernah surut menghadapi musim silih berganti, ditengah-tengah bayak teoritis baru bermunculan justru ia dapat berjasa dalam perkembangan sosiologi sepanjang zaman.
Menurut hemat penulis, buku ini sangat penting dibaca oleh Dosen, Mahasiswa, pemerhati masalah-masalah agama, politik, birokrasi dan siapa saja yang memiliki perhatian pada dunia ilmu. Buku ini tidak hanya menjadi “wajib’ dibaca oleh ilmuan-ilmuan sosial, melainkan mereka yang concern pada masalah-masalah agama dan politik.

Saripuddin adalah Mahasiswa Program Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial Humaniora, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunanan Kalijaga, Yogyakarta


We won’t tell. Get more on shows you hate to love Lanjuuttt nyoookk....

It's My Family


Lanjuuttt nyoookk....

Sabtu, 19 September 2009

Isi Khutbah Idul Fitri Syeikh Abu Bakr Ba'asyir

Irfan S. Awwas

إِنَّ الْحَمْدَ للهِ, نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا, مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ, أَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَأُمَّتِهِ الْمُطِيْعِيْنَ الْمَجَاهِدِيْنَ.

يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ وَقُوْلُوا قَوْلاً سَدِيْدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْلَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزاً عَظِيْمًا. أَمَّا بَعْدُهُ : أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ

Mengawali khutbah ini, terlebih dahulu marilah kita memupuji kebesaran Ilahy yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga pada hari ini kita dapat melaksanakan perintah agama, shalat Idul Fithri di tempat ini. Kita bersyukur kepada Allah Swt yang telah menciptakan segala sesuatu, dan menurunkan syari’at sebagai petunjuk jalan bagi makhluk ciptaan-Nya dalam mengarugi kehidupan dunia ini.

Semoga Allah senantiasa mencurahkan rahmat dan kesejahteraan kepada Nabi Muhammad Saw, keluarga, para shahabat, tabi’it-tabi’in serta seluruh kaum Muslimin yang setia mengikuti beliau dengan baik hingga hari kiamat.

Kemudian, sebagai khatib pada kesempatan khutbah hari raya ini, perkenankan kami mengingatkan diri pribadi dan segenap jamaah sekalian untuk senantiasa meningkatkan taqwa kepada Allah Swt. Marilah peningkatan taqwa ini kita jadikan sebagai agenda hidup yang utama, agar menjadi manusia ideal menurut Islam. Yakni, menjadi manusia mulia dan dimuliakan oleh Allah Swt sebagaimana firman-Nya (yang artinya):

“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di hadapan Allah adalah orang yang paling bertaqwa.” (Qs. Al-Hujurat, 49:13)

Di zaman kita sekarang sedikit orang yang menjadikan taqwa sebagai agenda hidupnya, yaitu menjalani hidup di bawah naungan syari’at Allah. Kebanyakan umat Islam adalah ‘Muslim Otodidak’ yang mengamalkan Islam menurut pemahaman dan penghayatan pribadinya, sehingga adakalanya benar dan lebih sering keliru dalam memahami dan mengamalkan perintah taqwallah (takut pada Allah).

Sekalipun kalimat taqwa menjadi bagian dari sumpah jabatan para pejabat Negara, tapi faktanya, pemerintah belum pernah memberi contoh yang benar tentang praktik taqwa pada Allah Swt. Yang kita saksikan justru sebaliknya, berbagai penolakan dan pelanggaran terhadap ajaran Islam yang dilakukan masyarakat dan pejabat Negara.

Ketika ada orang Islam mengimplementasikan pola hidp taqwa dengan mengamalkan syari’at Islam dan menuntut pelaksanaannya melalui lembaga Negara, malah dicurigai sebagai fundamentalis. Belum adanya standar hidup taqwa dalam agenda pemerintahan Negara, menyebabkan penilaian masyarakat menjadi kacau. Orang shalih dianggap salah, mengenakan pakaian taqwa (jibab) bagi Muslimah dipersulit bekerja di perusahaan atau masuk lembaga pendidikan karena dianggap budaya Arab, sementara para koruptor dimanjakan, sebaliknya lembaga pemberantas korupsi dicurigai dan sebagainya.

Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah…

Allahu Akbar, Allahu Akbar wa Lillahil Hamdu

Pada hari ini kita tengah menapaki hari perdana di bulan Syawal 1430 H dengan menunaikan shalat ‘Idul Fithri sebagai penutup kesempurnaan zikir, mengingat dan menyebut asma Allah Swt. Marilah kita bersungguh-sungguh di dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah, dan menjauhi kesalahan dan dosa agar kita beruntung dengan mendapatkan kehidupan yang baik di dunia dan pahala yang banyak sesudah mati.

Kini bulan suci Ramadhan telah berlalu, dan ia akan menjadi saksi yang menguntungkan atau memberatkan atas amalan-amalan yang telah kita kerjakan. Jika selama bulan Ramadhan yang kita lakukan adalah amal-amal yang shalih, hendaklah kita memuji Allah atas hal itu dan hendaklah bergembira dengan pahala yang baik. Sesungguhnya Allah tidak akan menyia-nyiakan orang yang berbuat kebajikan. Sebaliknya, siapa yang melakukan amal yang buruk, hendaklah ia segera bertaubat kepada Allah dengan taubatan nashuha, karena sesungguhnya Allah menerima taubat orang yang bertaubat kepada-Nya.

Sesungguhnya kaum Muslimin sangat merindukan kembalinya kejayaan Islam, agar dapat menciptakan dunia yang penuh kedamaian, kesejahteraan, kasih sayang, keadilan dan persatuan bagi segenap umat manusia. Harapan ini merupakan missi Islam yang diproklamirkan oleh Rasulullah Saw sejak beliau memulai dakwahnya di Makkah yang dikenal dengan misi Rahmatan lil Alamin.

Sebenarnya banyak sekali umat Islam dewasa ini yang siap menerima apapun yang sesuai dengan ajaran Islam, tetapi semua ini cepat berubah manakala muncul konflik antara Islam dan kekafiran. Kelemahan ini bahkan terdapat di kalangan orang-orang yang menyatakan diri sebagai pembela-pembela Islam. Mereka meneriakkan puji-pujian terhadap Islam, melakukan aktivitas keislaman, membentuk jamaah zikir dengan puluhan ribu pengikutnya.

Namun, jika diseru supaya melaksanakan syari’at Islam dalam urusan pribadi, keluarga, Negara, relasi-relasi bisnis, lembaga pendidikan, dan di segala aspek kehidupan, mereka akan menjawab: “Negara kita bukan Negara Islam, lebih baik kita abaikan dulu untuk sementara waktu menunggu momentum yang tepat agar kita tidak dicurigai.”

Kapankah kondisi yang aman damai itu akan tiba, sehingga kebenaran dapat disampaikan dengan terus terang? Hingga hari kiamat sekalipun kondisi demikian tidak akan pernah datang, karena orang-orang kafir akan terus membuat makar untuk mendiskreditkan dakwah Islam. Ingatlah nasihat Khalifah Umar bin Khathab bahwa, “Kebenaranlah yang membuat kamu menjadi kuat, dan bukan kekuatan kamu yang membuat jayanya kebenaran.” Sedangkan Khalifah Utsman berpesan, “Kejayaan umat ini akan terpelihara selama Al Qur’an berdampingan dengan kekuatan. Bilamana kekuatan tanpa Qur’an akan menjadi anarkhis dan bilamana Qur’an tanpa kekuatan tidak bermakna bagi kehidupan.”

Kesan yang kini sangat dominan di kalangan kaum Muslimin, bahwa menegakkan kehidupan berbasis Islam seakan ancaman terhadap keselamatan dirinya. Ada juga di kalangan umat Islam yang salah faham terhadap ajaran Allah Rabbul Alamin. Bila Allah Swt memerintahkan suatu perbuatan tertentu, mereka menganggap akan merugikan dan menyusahkan hidupnya, sedang bila dilarang mengerjakan tindakan tertentu, justru melanggar larangan dianggap menguntungkan dirinya. Hal ini tercermin pada keengganan umat Islam untuk berterus terang dengan agamanya dan menerima stigmatisasi musuh-musuh Islam, seolah-olah Islam adalah agama yang telah kehilangan relevansi untuk terus dipertahankan di era globalisasi ini.

Dengan stigmatisasi seperti ini menjadi berat bagi tokoh-tokoh Islam, terutama para politisinya, untuk mengibarkan bendera syari’at Islam secara jujur dan terus terang. Kondisi demikian menciptakan hubungan yang tegang, saling mencurigai diantara komunitas Muslim sehingga muncul pengelompokan Islam moderat dan radikal, toleran versus ektrem, inklusif versus eksklusif, dan nasional versus transnasional.

Pemetaan seperti ini sengaja dibuat oleh musuh-musuh Islam, sehingga kekuatan Islam dipecah-pecah sesuai program mereka. Sehingga menjadi beban berat bagi umat Islam yang memiliki komitmen tinggi terhadap agamanya. Dampak negatifnya, muncullah perasaan tertindas, tertekan di kalangan Muslim; merasa teraniaya dan hidupnya menjadi sengsara. Mentalitas yang merasa sengsara karena Islam, merasa tertindih beban berat bila mengamalkan Al-Qur’an dikoreksi dan mendapat teguran keras dari Allah Swt:

“Kami tidak menurunkan Al Quran ini kepadamu agar kamu menjadi susah; tetapi sebagai peringatan bagi orangyang takut kepada Allah.” (Qs. Thaha, 20:2-3).

Al-Qur’anul Karim diturunkan bukan untuk menjadikan manusia hidup dalam tatanan yang membawa kesengsaraan, kemiskinan, penderitaan dan saling menindas. Tetapi untuk memberikan tatanan hidup yang dapat membangun kasih sayang, berbuat kebajikan, perdamaian, persaudaraan, dan saling menghormati martabat manusia satu dengan lainnya.

Ibarat kafilah di tengah padang sahara yang sedang kehabisan bekal perjalanan. Tidak cukup untuk meneruskan perjalanan dan tidak pula cukup digunakan buat kembali ke tempat asal. Di saat kebingungan dan rasa panik, datanglah seorang pengembara menawarkan pertolongan, mengajak mereka ke suatu taman nan hijau di tengahnya membentang kolam air yang jernih dan menyegarkan. Di antara anggota kafilah itu ada yang belum puas dan ingin di ajak ke tempat yang lebih nyaman, tapi sebagian lain menyatakan, “kami puas dengan keadaan ini dan kami ingin tinggal menetap disini.”

Begitulah perumpamaan kehadiran Nabi Muhammad Saw dengan Al-Qur’an, pemberi petunjuk bagi kafilah manusia yang kebingungan di tengah sahara tandus, kehilangan kompas kehidupan, terlunta di tengah kegelapan akibat maksiat dan kemungkaran.

Mengawasi Juru Dakwah

Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah…

Allahu Akbar, Allahu Akbar wa Lillahil Hamdu

Pada masa akhir-akhir ini, kondisi yang mencekam dan menakutkan menimpa kaum Muslimin, terutama ketika Islam dikait-kaitkan dengan terorisme. Munculnya gagasan aparat keamanan untuk mengawasi juru dakwah dengan dalih pemberantasan terorisme, mengundang kekhawatiran mendalam. Apalagi, dengan mudahnya mengidentifikasikan seseorang sebagai jaringan teroris, melalui atribut pakaian berjubah, bercadar bagi Muslimah, memanjangkan jenggot dan celana komprang.

Sesungguhnya juru dakwah merupakan urat nadi kehidupan sosial, bukan pengacau dan bukan pula penyebar teror. Adakalanya seorang juru dakwah tampil sebagai tabib di tengah-tengah masyarakat, atau menjadi pengamat sosial yang berinisiatif mengubah masyarakat yang bobrok, jorok atau bodoh menjadi masyarakat yang terhormat. Bahkan seorang juru dakwah bisa menjadi pendamping yang produktif bagi si kaya, dan sekaligus menjadi pendamping yang kreatif bagi si miskin.

Namun kini, umat Islam di berbagai belahan dunia justru mengalami terror dari musuh-musuh Islam, bahkan diteror di dalam hatinya sendiri. Ketika terdapat tokoh dan orang-orang tertentu yang tidak bersahabat dengan Islam, dan merusak citra Islam dengan mengatakan, bahwa salah satu ayat Qur’an dalam surat Al Maidah ayat 44, 45, 47, tentang penguasa kafir, faseq dan zalim, merupakan pemicu terorisme.

Inilah teror terhadap umat Islam yang dilakukan oleh orang yang mengaku beragama Islam. Padahal sepanjang sejarahnya, Islam tidak ada kaitannya dengan terorisme. Memang Islam memerintahkan jihad fisabilillah, dan jihad jelas bukan terorisme. Maka, dalam kaitan ini kita perlu menyampaikan himbauan Islam kepada para penguasa agar tidak membiarkan aparat keamanan untuk mencari-cari kesalahan rakyat apalagi mengintimidasi mereka.

Rasulullah Saw bersabda:

عَنْ أَبِي أُمَامَةَ عَنِ النَّبِيِّ قَالَ : إِنَّ الأَمِيْرَ إِذَا ابْتَغَىْ الرِّيْبَةَ فِي النَّاسِ أَفْسَدَهُمْ [رواه أبوداود]

“Dari Abu Umamah, Nabi Saw bersabda: “Sesungguhnya apabila penguasa mencari-cari hal yang mencurigakan dari rakyatnya, maka dia akan menghancurkan rakyatnya.”

Bila rakyat terus menerus dimata-matai intelijen, dengan dalih pemberantasan terorisme, rakyat jadi kehilangan inisiatif untuk berprestasi. Dari fakta sejarah kita ketahui bahwa akar terorisme sebenarnya adalah kezaliman dan ketidakadilan penguasa. Inilah yang dengan kasat mata kita saksikan, bahwa kejahatan yang dilakukan oleh Amerika dan sekutunya di Negara-negara Muslim seperti Iraq, Afghanistan, Pakistan, dan negeri-negeri lain termasuk Indonesia.

Kenyataan ini mengingatkan kita ke zaman Fir’aun, 2500 tahun SM, yang sezaman dengan Nabi Musa As. Ketika itu terjadi kezaliman dan berbagai bentuk ketidak adilan yang dilakukan oleh Fir’aun terhadap bani Israel. Rakyat diintimidasi dan diprovokasi seperti termatub dalam firman Allah Swt :

“Dan ingatlah ketika Kami selamatkan kamu dan Fir’aun dan pengikut-pengikutnya; mereka menimpakan kepadamu sikasaan yang seberat-beratnya, mereka menyembelih anak-anakmu yang laki-laki dan membiarkan hidup anak-anakmu yang perempuan. Dan pada yang demikian itu terdapat cobaan-cobaan yang besar dari Rabmu.” (Qs. Al Baqarah, 2:49).

Rezim fir’aun menyembelih anak-anak, menelantarkan kaum wanita dan mematai-matai gerak gerik setiap orang dari bani Israel karena distigmatisasai sebagai ancaman terhadap Negara. Akibat dari sikap paranoid Fir’aun dan rezimnya, maka kaum ibu bani Israel takut melahirkan bayi laki-laki, sebab hal ini berarti menjadi alasan penguasa untuk membunuh bayinya dan sekaligus memenjarakan ibunya.

Jika hendak mmemberantas terorisme, maka hentikan kezaliman dan hentikan kerjasama dengan penguasa jahat, baik di barat maupun di timur. Pemerintah hendaknya menjauhkan diri dari kezaliman dalam kebijakannya, terutama sekali berkaitan dengan pengelolaan alam untuk tidak diserahkan pada orang asing. Pemerintah jangan memosisikan diri sebagai elite penguasa yang memandang Indonesia sebagai pasar kapitalis global, sehingga rakyat tetap terpuruk dalam perjuangan mencapai kesejahteraan. Harus ada keberanian menghadapi tekanan asing yang menginginkan kekuatan Islam di Indonesia menjadi lumpuh seperti yang dilakukan kaum salibis di Spanyol lima abad yang lalu.

Rasulullah Saw menasihati para penguasa agar berbuat adil dan menjauhi kezaliman, dalam sabdanya:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : اتَّقُوا الظُّلْمَ فَإِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ [رواه مسلم]

Rasulullah Saw bersabda: “Jauhilah kedzaliman, karena sesungguhnya kedzaliman membuahkan kegelapan pada hari kiamat.”

Kezaliman akan semakin merajalela bila rakyat tidak berani mencegahnya. Maka bila ada ulama yang berani mencegah kezaliman penguasa, rakyat harus bersyukur dan membelanya karena dia telah berusaha mencegah malapetaka dan murka Allah.

Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah…

Allahu Akbar, Allahu Akbar walillhil Hamdu

Kaum Muslimin bangsa Indonesia supaya menyadari posisi dirinya sebagai pemilik sah negeri ini. Karena hanya umat Islam satu-satunya yang paling konsistensi mempertahankan NKRI. Sedang umat lain, justru menuntut keluar dari Indonesia seperti yang dilakukan oleh pengikut Kristen di Papua dan kelompok RMS di Maluku.

Para tokoh Islam baik di organisasi politik maupun massa tidak menjadi bagian dari agenda musuh Islkam untuk mengerdilkan peran umat Islam di Indonesia, seperti yang dilakukan oleh JIL, Islam oderat yang mengajak umat Islam untuk menukar aqidahnya dengan pluralisme atau tata dunia baru yang berbaris pada doktrin zionisme dan HAM. Karena sikap-sikap ambivalen hanya akan melahirkan orang Islam yang sekadar puas menjalankan ibadah, tetapi mengabaikan ajaran Islam sebagai jalan kehidupan.

Para ulama jangan pernah memosisikan diri sebagai terompet jahat musuh Islam, dengana menolak berlakunya syariat Islam di lembaga Negara. Merekalah yang seharusnya memimpin rakyat agar berani meluruskan apa yang bengkok dari penguasa, berani berkata benar secara terus terang. Rasulullah Saw bersabda:

عَنْ مُعَاوِيَةَ بْن أَبِيْ سُفْيَان ، عَنِ النَّبِيِّ قال : يَكُوْنُ أُمَرَاءَ يَقُوْلُوْنَ وَلاَ يُرَدُّ عَلَيْهِمْ ، يَتَهَافَتُوْنَ فِي النَّارِ يَتْبَعُ بَعْضُهُمْ بَعْضاً [رواه الطبراني]

“Dari Mu’awiyah bin Abu sufyan, dari Nabi Saw bersabda: “Akan muncul para penguasa yang berkata sesuka mereka dan tidak ada yang membantahnya. Mereka akan berjatuhan masuk neraka beriringan satu demi satu.”

DO’A

Ma’asyiral Muslim Rahimakumullah…

Allahu Akbar, Allahu Akbar walillahil Hamdu

Mengakhiri khutbah ini, merilah kita berdo’a, dengan meluruskan niat, membersihkan hati dan menjernihkan fikiran. Semoga Allah memperkenankan do’a hamba-Nya yang ikhlas.

اَللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَاتَحُوْلُ بِهِ بَيْنَتَا وَبَيْنَ مَعْصِيَتِكَ وَمِنْ طَاعَتِكَ مَاتُبَلِّغُنَا بِهِ جَنَّتَكَ وَمِنَ الْيَقِيْنِ مَا تُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مَصَآئِبَ الدُّنْياَ اَللَّهُمَّ مَتِّعْنَابِأَسْمَاعِنَا وَأَبْصَارِنَا وَقُوَّتِنَا مَاأَحْيَيْتَنَا وَاجْعَلْهُ الْوَارِثَ مِنَّا وَاجْعَلْ ثَأْرَنَا عَلَى مَنْ ظََلَمَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى مَنْ عَادَانَا وَلاَتَجْعَلْ مُصِيْبَتَنَا فِى دِيْنِنَا وَلاَتَجْعَلِ الدُّنْياَ أَكْبَرَ هَمِّنَا وَمَبْلَغَ عِلْمِنَا وَلاَتُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لاَ يَرْحَمُنَا. اَللَّهُمَّ الْعَنِ الْكَفَرَةَ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِيْنَ الَّذِيْنَ يَصُدُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِكَ وَيُكَذِّبُوْنَ رُسُلَكَ وَيُقَاتِلُوْنَ اَوْلِيَآءَكَ. اَللَّهُمَّ اَلِّفْ بَيْنَ قُلُوْبِنَا وَاَصْلِحْ ذَاتَ بَيْنِنَا وَاهْدِنَا سُبُلَ السَّلاَمِ وَنَجِّنَا مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّوْرِ وَبَارِكْ لَنَا فِى أَسْمَاعِنَا وَاَبْصَارِنَا وَقُلُوْبِنَا وَأَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا وَتُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّبُ الرَّحِيْمِ . وَصَلَّى اللهُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ اَجْمَعِيْنَ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ.

Ya Allah, ya Rab kami, bagi-bagikanlah kepada kami demi takut kepada-Mu apa yang dapat kiranya menghalang antara kami dan ma’siat kepada-Mu; dan (bagi-bagikan juga kepada kami) demi taat kepada-Mu apa yang sekiranya dapat menyampaikan kami ke sorga-Mu; dan (bagi-bagikan juga kepada kami) demi taat kepada-Mu dan demi suatu keyakinan yang kiranya meringankan beban musibah dunia kami.

Ya Allah, ya Rab kami, senangkanlah pendengaran-pendengaran kami, penglihatan –penglihatan kami dan kekuatan kami pada apa yang Engkau telah menghidupkan kami, dan jadikanlah ia sebagai warisan dari kami, dan jadikanlah pembelaan kami (memukul) orang-orang yang menzhalimi kami serta bantulah kami dari menghadapi orang-orang yang memusuhi kami; dan jangan kiranya Engkau jadikan musibah kami mengenai agama kami, jangan pula Engkau jadikan dunia ini sebagai cita-cita kami yang paling besar, tidak juga sebagai tujuan akhir dari ilmu pengetahuan kami; dan janganlah Engkau kuasakan atas kami orang-orang yang tidak menaruh sayang kepada kami (HR. Tirmidzi dan ia berkata hadist ini hasan.)

Ya Allah, laknatilah orang-orang kafir ahli kitab dan orang-orang musyrik yang menghalang-haalangi jalan-Mu, mendustakan Rasul-rasul-Mu, dan membunuh kekasih-kekasih-Mu

Ya Allah, persatukanlah hati-hati kami dan perbaikilah keadaan kami dan tunjukilah kami jalan-jalan keselamatan serta entaskanlah kami dari kegelapan menuju cahaya yang terang. Dan jauhkanlah kami dari kejahatan yang tampak maupun tersembunyi dan berkatilah pendengaran-pendengaran kami, penglihatan-penglihatan kami, hati-hati kami dan isteri-isteri serta anak keturunan kami, dan ampunilah kami sesungguhnya Engkaulah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Shalawat atas Nabi Muhammad SAW dan ahli keluarga serta sahabat-sahabat beliau semuanya. Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam.

Lanjuuttt nyoookk....

Rabu, 16 September 2009

Pengantar Ekonomi Politik

Produksi Barang-Barang Kebutuhan Adalah
Basis Dari Kehidupan SosialKita
harus memulainya dari
pemahaman yang sangat mendasar. Bahwa untuk
mempertahankan dan melanjutkan hidupnya, manusia harus dapat mencukupi
kebutuhan utamanya yaitu: makanan, pakaian dan tempat tinggal. Oleh karena itu
manusia harus memproduksi semua kebutuhan-kebutuhannya II.
Hubungan Produksi, Tenaga Produktif dan Cara Produksi
Dalam
suatu aktivitas proses produksi guna memenuhi kebutuhannya manusia berhubungan
dengan manusia lain. Karena Proses produksi selalu merupakan hasil saling
hubungan antar manusia, maka sifat dari produksi juga selalu bersifat sosial.
Saling hubungan antar manusia dalam suatu proses produksi ini disebut sebagai hubungan
sosial produksi. Dari kegiatan produksi ini kemudian muncul kegiatan
berikutnya yaitu distribusi dan pertukaran barang. Hubungan sosial produksi
dalam sebauh masyarakat bisa bersifat kerja sama atau bersifat penghisapan.
Hal ini tergantung siapakah yang memiliki atau menguasai seluruh alat-alat
produksi (alat-alat kerja dan obyek kerja). III.
Kelas-Kelas Dalam Masyarakat
Berdasarkan
Posisi dan hubungannya dengan alat-alat produksi inilah masyarakat kemudian
terbagi kedalam kelompok-kelompok yang disebut kelas-kelas. Misalnya
Dalam suatu masyarakat berkelas selalu terdapat dua kelas utama yang berbeda
yang saling bertentangan berdasarkan posisi dan hubungan mereka dengan
alat-alat produksi. Tetapi, tidak semua cara produksi masyarakat terdapat
pembagian kelas-kelas.KAPITALISME
Kapitalisme,
adalah sebuah nama yang diberikan terhadap sistem sosial dimana alat-alat
produksi, tanah, pabrik-pabrik dan lain-lain dikuasai oleh segelintir orang
yaitu kelas kapitalis (pemilik modal). Jadi kelas ini hidup dari
kepemilikannya atas alat-alat produksi. Sementara kelas lain (buruh) yang
tidak menguasai alat produksi, hidup dengan bekerja (menjual tenaga kerjanya)
kepada kelas kapitalis untuk mendapatkan upah.I. NILAI
LEBIH
Kelas
buruh yang tidak memiliki alat produksi harus menjual tenaga kerjanya untuk
mendapatkan upah untuk membeli sejumlah barang untuk kebutuhan hidupnya. Tetapi
apakah upah itu? Bagaimana
upah itu ditentukan? Lanjuuttt nyoookk....

Neoliberalisme Atau Demokrasi

Ditulis dalam dua bagian, buku ini adalah kritik bagi neo-liberalisme di mana macewan, pada bagian kedua, mengusulkan alternatif

realistis sistem ekonomi dengan sebuah " strategy pembangunan ekonomi demokrasi ". pada bagian i macewan berpendapat bahwa sistem kapitalis dijalankan oleh para elite yang kuat, untuk kepentingan elit yang kuat dan bukan keajaiban untuk kepentingan semua pihak. buku ini membahas secara rinci prinsip-prinsip utama neo-liberalisme: perdagangan bebas, peraturan minimal, investasi langsung di luar negeri, dan pendapatan yang tidak seimbang, menjelaskan pembenaran bagi posisi ekonomi neo-liberal. dia berpendapat bahwa dalam teori dan praktek gagasan-gagasan seperti itu membuat, baik demokrasi maupun ekonomi tidak masuk akal misalnya, bukti sejarah menunjukkan bahwa proteksionisme digunakan oleh amerika serikat, inggris, jepang dan eropa barat. pasar hanya dibuka secara bertahap untuk menjadi "bebas" pada saat industri dalam negeri mereka kuat. baru-baru ini, korea selatan telah melakukan hal yang sama, dengan keberhasilan ekonominya. washington melalui konsensusnya masih menekan negara-negara miskin dengan industri pemula sebelum mereka dapat bertahan hidup untuk membuka pasarnya.
macewan juga membawa semua bukti yang menunjukkan bahwa pembenaran neo-liberal atas ketidaksetaraan pendapatan adalah tidak benar sebagai sebuah rasa sakit jangka pendek ianya bukanlah satu-satunya jalan, dan bahkan bukan cara yang pasti, untuk membawa pertumbuhan ekonomi jangka panjang. sebenarnya kesetaraan pendapatan dapat membawa pertumbuhan ekonomi, misalnya sebagai kesetaraan berarti lebih banyak prasarana pendidikan, yang berarti lebih memiliki kemampuan teknologi dan tenaga kerja produktif, yang mendorong pertumbuhan.
mitos tentang pasar tersebut benar-benar menghilangkan prasangka secara luas dan kritik yang mendalam terhadap doktrin neo-liberal, memperlihatkan berbagai kekurangan baik dalam teori dan praktek.
macewan juga membahas pasar apa yang sebenarnya, bagaimana dibuat dan bagaimana mereka beroperasi. dia berpendapat bahwa pasar tidak muncul dengan sendirinya, tetapi dibangun, dan terus-menerus direkonstruksi oleh pemerintah, perusahaan, gerakan-gerakan sosial dan individu. dengan demikian mustahil untuk ”membiarkan segala sesuatunya kepada pasar”, seolah-olah itu adalah wasit yang netral, yang berarti meninggalkan segala sesuatunya kepada sejarah. oleh karena itu pertanyaan tentang pasar tidak harus diatur mereka, tapi bagaimana mengatur mereka.
bagian kedua dari buku ini menjabarkan kebijakan, memperdebatkan strategi pengembangan ekonomi demokratis yang memungkinkan rakyat untuk melakukan kontrol terhadap urusan ekonomi mereka, melibatkan rakyat dalam memecahkan permasalhan ekonomi mereka dan menyiapkan materi yang dibutuhkan oleh mayoritas terbesar.
macewan menggambarkan bagaimana kebijakan dapat diimplementasikan dalam kerangka sosio-ekonomi terbaru, menyatakan bahwa kebijakan seperti ini jauh lebih bagus baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. ia juga mengatakan bahwa pembangunan ekonomi demokrasi adalah "suatu proses perubahan yang demokratis alami dan membawa masyarakat kepada kemajuan demokrasi," menjelaskan bahwa partisipasi politik merupakan kunci bagi proses strategi tersebut. tujuan-tujuan lain dari strategi ini meliputi tidak hanya meningkatnya produktivitas ekonomi tetapi juga tersedianya kebutuhan dasar dan pendapatan yang relatif setara, ketahanan lingkungan hidup dan pelestarian (penciptaan) masyarakat.
macewan menggambarkan bagaimana strategi semacam ini memungkin melalui kebijakan makroekonomi termasuk perluasan pajak yang non-regresif, realokasi pengeluaran pemerintah dan pengurangan korupsi serta pemborosan, kontrol modal internasional. hal ini juga akan melibatkan perluasan program-program sosial, yang dapat melibatkan partisipasi masyarakat luas dalam perencanaan pembangunan dan pengoperasian.
penekanan pada perluasan program-program sosial, terutama pendidikan, kesehatan dan lingkungan hidup.
perusahaan akan didorong melalui pemberian insentif untuk memperluas pelatihan dan pengembangan keahlian angkatan kerja, sementara nilai produksi lokal akan diakui dalam hal efeknya pada lingkungan, pekerjaan dan kohesi masyarakat, menggunakan kombinasi pajak, subsidi dan peraturan yang diperlukan .
neo-liberalisme dan demokrasi dirangkum secara utuh dalam buku ini yang selanjutnya kritikan-kritikan tersebut juga diikuti oleh usulan realistis untuk suatu sistem yang lebih baik. walaupun ditulis satu dekade yang lalu, buku ini masih merupakan bacaan yang tepat sebagai jawaban terhadap sistem perekonomian yang saat krisis diilustrasikan bahwa neo-liberalisme sama sekali tidak berhasil seperti yang diharapkan. hari ini kita melihat ke lebih kepada peraturan pasar dan keuangan internasional, sesuatu yang ditekankan oleh macewan dalam buku ini. mungkin kita harus serius melihat proposal dalam bagian kedua dari bukunya sebagai upaya kita untuk membuat yang jauh lebih egaliter dan sistem ekonomi yang berkelanjutan, serta mudah-mudahan kita bahkan mampu membangun sesuatu yang tidak hanya memfokuskan pada pertumbuhan ekonomi tetapi juga sosial, politik, lingkungan dan infrastruktur fisik untuk dunia yang lebih baik. pertumbuhan ekonomi bukan satu-satunya ukuran keberhasilan masyarakat dan pembangunan.

Lanjuuttt nyoookk....

Huqūq Allah Dan Huqūq Al-''Ibād: Sebuah Hukum Alam Heuristis Untuk Hak Asasi Manusia

Artikel ini menunjukkan bahwa awal Muslim jurists sering membuat peraturan yang tidak memiliki dasar dalam Alquran atau sunnah.

Successors mereka diadopsi ini dilihat sebagai preseden berwibawa dan adil pada mereka. Mereka memberikan alasan alasan latar belakang tercermin nilai-nilai tentang inheren kualitas perorangan dan masyarakat harus menjunjung tinggi barang dalam rangka memberikan substantif konten mereka hukum determinations. Kembali ke nilai-nilai ini, baik implisit atau eksplisit, menggambarkan bagaimana Muslim jurists naturalis reasoning tergabung dalam analisis yuridis. Untuk membuktikan mereka naturalisme implisit, artikel ini berfokus pada bagaimana Sunni Muslim jurists terutama dari 2nd/8th-10th/16th abad menggunakan heuristis konseptual dari "hak Allah" dan "hak-hak individu" (huqūq Allah, huqūq Al-i '' ibād) sebagai mekanisme untuk interpretif bingkai naturalis asumsi mereka dan menerapkannya dalam analisa hukum untuk membuat dan mendistribusikan hak, kewajiban, dan komitmen masyarakat.

Lanjuuttt nyoookk....

Soempah PEMOEDA...SUMPAH POCONG...SUMPAH JABATAN...GUE SUMPAHIN LO

Sebelum membaca ringkasan ini, silakan lihat berikut tentang " SAAT KORUPTOR TERMAKAN SUMPAH" di harian Pikiran Rakyat Bandung

( http://www.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=26008 )
Tulisan ini dibuat bukan ingin latah atau ingin menyambut Hari Sumpah Pemuda tetapi hanya sebatas memaknai apa yang dimaksud dengan SUMPAH itu sendiri.
Tanggal 28 Oktober 1928, kita mengenalnya sebagai suatu peristiwa sejarah yang pernah terjadi di negeri ini yaitu berkumpulnya sebagian besar Pemuda Pemudi dari seluruh penjuru tanah air. Mereka melakukan ikrar untuk menyatakan satu dalam perbedaan, dan dikenallah dengan SOEMPAH PEMOEDA yang isinya adalah :
* PERTAMA. Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mengakoe Bertoempah Darah Jang Satoe, Tanah Indonesia.
* KEDOEA. Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mengakoe Berbangsa Jang Satoe, Bangsa Indonesia.
* KETIGA. Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mendjoendjoeng Bahasa Persatoean, Bahasa Indonesia.
Soempah Pemoeda itulah yang menjadi pijakan untuk melakukan perlawanan kepada penjajah Belanda saat itu dan menyatakan untuk memerdekan diri dari belenggu penjajahan sehingga tercapailah tujuan yang diinginkan yaitu PROLAMASI KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA 17 AGUSTUS 1945.
Kemerdekaan negeri ini membuat seluruh eksponen masyarakat mulai bergerak dan menyusun rencana yang jelas bagi kesejahteraan, kemakmuran dan kehormatan bangsa Indonesia di mata dunia, maka dibuatlah konsep pembanguanan yang pas untuk mencapai tujuan tersebut di atas.
Dengan segala pernak-pernik perjalanan sejarah bangsa ini baik senang maupun susah tetap saja ada ekses yang sepertinya menjadi momok yaitu menyikapi suatu jabatan ataupun kekuasaan. Rupanya Soempah Pemoeda belum cukup untuk menghilangkan faktor psikologis, filosofis dan budaya mengenai penyikapan atas jabatan/kekekuasaan sehingga timbullah di masyarakat kalangan bawah untuk meyakinkan/mempercayai Sumpah Pocong sebagai bagian dalam mengambil keputusan agar mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Sumpah pocong adalah sumpah yang dilakukan oleh seseorang dalam keadaan terbalut kain kafan seperti layaknya orang yang telah meninggal (pocong). Sumpah ini tak jarang dipraktekkan dengan tata cara yang berbeda, misalnya pelaku sumpah tidak dipocongi tapi hanya dikerudungi kain kafan dengan posisi duduk.
Sumpah pocong biasanya dilakukan oleh pemeluk agama Islam dan dilengkapi dengan saksi dan dilakukan di rumah ibadah (mesjid). Di dalam hukum Islam sebenarnya tidak ada sumpah dengan mengenakan kain kafan seperti ini. Sumpah ini merupakan tradisi lokal yang masih kental menerapkan norma-norma adat. Sumpah ini dilakukan untuk membuktikan suatu tuduhan atau kasus yang sedikit atau bahkan tidak memiliki bukti sama sekali. Konsekuensinya, apabila keterangan atau janjinya tidak benar, yang bersumpah diyakini mendapat hukuman atau laknat dari Tuhan.
http://id.wikipedia.org/wiki/Sumpah_pocong
Kelihatannya memang menyeramkan/horor dan sebagian orang cenderung memandangnya sebagai klenik walaupun masih banyak masyarakat kita melakukan sumpah pocong.
Pertanyaannya adalah apakah Soempah Pemoeda dan Sumpah Pocong bisa menjamin bahwa orang-orang/kelompok yang mempunyai jabatan/kekuasaan di negeri akan menjalankan amanah yang diberikan oleh rakyat?
Ternyata dibutuhkan lagi satu sumpah bagi para pejabat publik yaitu Sumpah Jabatan yang dilakukan dalam setiap pelantikan dengan disaksikan oleh orang banyak dan diletakkan kitab suci baik Al Qur'an, Injil, Weda, dan lain-lain di atas kepala pejabat publik dengan harapan pejabat publik ini dengan ikhlas dan jujur menjalankan amanah yang telah dibacakan sendiri olehnya.
SOEMPAH PEMOEDA sudah, SUMPAH POCONG sudah, SUMPAH JABATAN sudah tetapi kenapa masih ada korupsi, kolusi dan nepotisme. Orde terus berganti mulai dari orde lama, orde baru orde reformasi sampai sekarang tetapi masalah kepercayaan/keyakinan masyarakat terhadap masa depan bangsa dan negara ini seperti kehilangan harapan dan makin terpuruk walaupun kita masih ada yang optimis. Dimana itu sumpah-sumpah yang telah diucapkan dan diikrarkan apalagi membawa-bawa nama Tuhan Yang Maha Esa.
Apakah perlu disumpahin tuh para pejabat pubik ataupun yang memegang kekuasaan agar perubahan cepat terjadi?????
GUE SUMPAHIN :
PEJABATNYA SADAR DAN TOBAT UNTUK TIDAK MELAKUKAN KKN
PEMEGANG KEKUASAAN SADAR UNTUK MENDAHULUKAN KEPENTINGAN RAKYAT DARIPADA KEPENTINGAN DIRI/GOLONGAN
SELURUH MASYARAKAT INDONESIA SADAR DAN TAKUT KEPADA TUHAN YANG MAHA ESA YANG SELALU MELIHAT, MENDENGAR DAN MENCATAT APA YANG TELAH KITA PERBUAT
INDONESIA MENJADI BANGSA DAN NEGARA YANG DIHORMATI OLEH BANGSA-BANGSA DI DUNIA
INDONESIA MAJU DALAM SEGALA BIDANG BAIK EKONOMI, POLITIK, SOSIAL, BUDAYA DAN PERTAHANAN KEAMANAN
INDONESIA MEMPUNYAI MASYARAKAT YANG SOPAN SANTUN, GOTONG ROYONG, DAN TIDAK BERINGAS
MASYARAKAT INDONESIA MEMPUNYAI TOLERASI YANG TINGGI (TEPO SELIRO) TERHADAP SELURUH UMAT MANUSIA DI DUNIA TANPA MELIHAT AGAMANYA, SUKU BANGSANYA, WARNA KULITNYA, DAN STATUS HIDUPNYA....
PENULIS DAN YANG MEMBACA TULISANNYA MASUK SURGA SERTA DAPAT BERTATAP MUKA DENGAN SANG PENCIPTA TUHAN YANG MAHA ESA
SUMPEH LO...........??????????????????

Lanjuuttt nyoookk....

Facebookers

Teman

Komentarmu


ShoutMix chat widget

Anda Pengunjung ke

Link Komunitasku

gerakan indonesia bangkit PartaiKu Hizbut Tahrir

Link Blog

 

Rabithah

Ya,Allah seseungguhnya Engkau mengetahui bahwa semua hati kami ini telah bersatu berdasarkan kecintaan kepada-Mu,berjumpa di atas ketaatan kepada-Mu,berhimpun di atas dakwah-Mu,maka kuatkanlah-Ya Allah-ikatannya,kekalkanlah kasih sayang di antaranya,tunjukkan jalannya,serta penuhilah ia dengan cahaya-Mu yang tidak akan pernah padam. Lapangkanlah dadanya dengan limpahan keimanan kepada-Mu dan keindahan tawakl kepada-Mu,hidupkanlah ia dengan makrifah kepada-Mu,dan matikanlah ia sebagai syahid di jalan-Mu. Sesungguhnya Engkau sebaik-baik pemimpin dan sebaik-baik penolong. Ya Allah, kabulkanlah dan limpahkanlah salawat serta salam,ya Allah, kepada Muhammad,juga kepada segenap keluarga dan sahabatnya